Monday, March 02, 2009

Golput, Menolak Politik Hitam

Oleh: Guntur Pribadi
PERKIRAAN akan meningkatnya jumlah pemilih menjadi golongan putih (golput) dalam Pemilu 2009, tampaknya bisa terjadi. Hal ini terlihat dari pengamatan sejumlah media massa dan berbagai lembaga survei yang menilai ’peminat’ golput di negeri ini ternyata masih besar.

Banyak faktor mengapa masyarakat memilih golput atau tidak menitipkan suaranya kepada wakil rakyat. Secara umum, di antaranya, persepsi pemilih yang masih memandang para calon legislatif (caleg) ataupun calon pemimpin nasional (calpin) yang mengkampayekan diri saat ini tidak dikenal dan tidak memiliki prestasi politik, moral, serta sosial di masyarakat.

Selain itu, adanya kejenuhan masyarakat dengan kondisi yang tidak ada perubahan. Tapi sebaliknya, kian susahnya berusaha, tingginya tingkat pengangguran, mahalnya barang-barang sembako, tidak adilnya penegakan hukum, dan harga bahan bakar yang masih belum stabil, serta persoalan kemiskian, menjadi bagian di antara faktor mengapa masyarakat ’menggemari’ politik golput.

Saat ini sah-sah saja para caleg mengobral janji politik dan program kerja partai. Namun keputusan tetap diaspirasi pemilih. Rakyatlah yang menentukan keberadaan caleg dan partai, termasuk calon pemimpin nasional dapat terpilih dan memenangkan ’kompetisi’ pemilu.

Dalam konteks demokrasi, substansi rakyatlah yang berkuasa dan berhak menentukan dan memilih para wakilnya. Demikian pula ketika ada sebagian rakyat tidak memanfaatkan hak pilihnya. Itu pun termasuk bagian dari hak rakyat yang harus dihormati untuk tidak ditekan atau pun dilarang.

Pilihan menjadi golput bisa jadi pilihan terbaik dari yang terbaik. Namun bisa pula menjadi pilihan tidak memberikan manfaat bagi perkembangan demokratisasi. Itulah sebenarnya konsekuensi logis demokrasi itu sendiri yang membuka ruang untuk golput.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan negara maju sekalipun seperti Amerika dan negera-negara Eropa, warga yang memilih ’jalur alternatif’ dengan tidak menggunakan hak suaranya cukup memiliki peran yang signifikan. Setidaknya pilihan menjadi golput secara tidak langsung ikut mewarnai perkembangan demokrasi di suatu negara.

Itulah demokrasi: memilih caleg dan calon pemimpin dianjurkan. Tidak memilih pun tidak masalah. Prediksi meningkatnya warga tidak menggunakan hak pilihnya sebenarnya sangat dipengaruhi dari sikap politik dan pengetahuan pemilih.

Adanya kemungkinan, melorotnya tingkat partisipasi politik masyarakat pada Pemilu 2009 ke depan sebagian dikarenakan alasan ketidaktahuan pemilih terhadap ’pencitraan’ caleg. Inilah yang dimaksud, rakyat hari-hari menjelang pemilu dibingungkan dengan wajah-wajah caleg dan warna-warni partai. Belum lagi, janji-janji politik dan visi-misi parpol yang diusung caleg maupun calpin, belakangan ini, seperti iklan oli. Semuanya ingin dikatakan paling paling top. Paling sip. Sementara ’penjelajahan’ di lapangan, ternyata rakyat masih bertanya-tanya dengan sosok caleg dan calpin serta program-program parpol.

Kemudian secara politis, meningkatnya pemilih yang tidak menggunakan hak politiknya dikarenakan sikap kritis rakyat, yang bisa jadi mengambil jalan golput untuk menolak caleg ataupun calpin yang dinilai tidak representatif dan korup. Termasuk adanya kekecewaan sebagian simpatisan partai terhadap program parpol dan sosok caleg.

Menurut Arif Budiman, mantan aktivis golput 1966, pilihan warga menjadi golput sebenarnya pilihan membela hak pilih. Hanya saja hak pilihnya bukan memilih partai. Tapi hak pilih untuk tidak memilih.

Seperti diketahui, Arif Budiman adalah tokoh pelopor gerakan golput di negeri ini yang menolak intervensi pemerintah, ketika itu rejim Orde Baru, terhadap internal partai politik dan menentang penggunaan kekerasan di pedesaaan untuk mendapatkan dukungan bagi partai pemerintah. Gerakan golput kemudian berkembang, sesuai dengan namanya golongan putih. Golput dipilih sebagai pilihan politik sekaligus gerakan menolak politik ”hitam” atau politik kotor.

Kemudian bagaimana dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang belum lama ini, mengambil keputusan dengan mengharamkan tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu atau golput? Keputusan MUI adalah bagian kesepakatan yang prinsipnya masih debatable. Artinya, hak memilih dan tidak memilih dalam berbagai sisinya memang memiliki konsekuensi masing-masing. Termasuk memilih golput.

Dalam perspketif MUI, seperti disepakati dalam sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ketika itu dipimpin KH Ma`ruf Amin (Ketua Fatwa MUI) di Aula Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, Minggu (25/1/2009), memutuskan, tidak memilih sama sekali pemimpin/wakil yang memenuhi syarat hukumnya haram. Umat Islam diwajibkan memilih pimpinan yang mampu menegakkan amar ma`ruf nahi munkar.

Dengan alasan pemilu sebagai sarana memilih pemimpin atau wakil umat, MUI kemudian menegaskan, memilih pemimpin/wakil rakyat menjadi kewajiban, dengan syarat pimpinan/wakil yang wajib dipilih adalah beriman dan takwa, jujur, dan memperjuangkan kepentingan umat.

Namun, alasan berbeda terhadap keputusan MUI mengharamkan memilih jalan lain: golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, juga menimbulkan sejumlah tafsir beragam dan kontradiksi dari para pemilih golput. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari alasan mengapa memilih golput dan kesadaran warga menggunakan hak pilihnya.

Pilihan ’membungkam’ suara dalam pemilu tidak bisa diterjemahkan begitu saja sebagai sikap tidak loyal terhadap negara. Di luar dari tafsir dan pertimbangan MUI mengharamkan warga yang tidak menggunakan hak suara, pilihan golput tetap bagian mekanisme demokrasi atau cara politik warga menunjukkan kesadaran politiknya. Mungkin tegasnya lebih baik golput daripada memilih ”politisi busuk”.

Mengamati kondisi kemungkinan-kemungkinan meningkatnya ’peminat’ golput seharusnya menjadi pembelajaran politik bagi warga, terutama para caleg dan caplin yang kini lagi giat-giatnya mempromosikan citra dan program kerja parpol.

Golput prinsipnya mengajarkan logika demokrasi untuk tidak asal pilih pemimpin ataupun wakil rakyat. Inilah sinyal yang justru harus ditangkap para caleg dan calpin agar dapat mempresentasikan janji politik yang sehat, cerdas, jujur, mendidik, merakyat, dan memberikan pencerahan bagi rakyat, no obral janji, serta tidak korup.

(Tulisan opini ini pernah dimuat di www.kabarindonesia.com pada 28-Feb-2009)

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.