Oleh:
Guntur Pribadi *)
“Ketika
kita berbicara kepada anak-anak, kita tidak membicarakan mereka sebagai suatu
ras, bangsa ataupun ideologi. Kita membicarakan anak dengan rasa tanggungjawab
untuk melindungi hak-hak mereka…”
(Prof. Dr. H. Syaukani HR, SE., MM)
PENGGALAN
pidato Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Prof. Dr. H. Syaukani HR, SE., MM,
tersebut, disampaikan dalam Konferensi Perburuhan Internasional (Internationl
Labour Conference) ke-59, di ruang sidang utama Markas Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Jenewa Swiss, Jumat 9
Juni 2006. Didepan ratusan anggota delegasi dari 178 negara serta pengamat dari
berbagai lembaga dunia, Kukar bertekad untuk mewujudkannya.
Adalah
prestasi yang sangat terhormat bagi Kukar ketika mendapat kesempatan
menyuarakan hak-hak anak. Kebijakan pemerintah setingkat kabupaten, yang dengan
tegas membebaskan pekerja anak merupakan buah kesadaran luar biasa. Seandainya
ini menjadi komitmen nasional yang serius, kita tidak bisa membayangkan betapa
anak-anak bangsa ini mendapatkan hak-haknya: menimba ilmu dan mendapatkan
perlindungan anak dari kekerasan.
Terlepas dari kontroversinya, Syaukani
HR tetaplah sebagai tokoh penting di Kukar, yang menegaskan komitmenya, untuk
menekan jumlah pekerja anak di daerah dalam program Zona Bebas Pekerja Anak
(ZBPA).
Beberapa
tahun lalu, jumlah pekerja anak di Kukar terbilang banyak. Kondisi ini memang
meresahkan. Apalagi daerah ini dikenal memiliki potensi dan kekayaan alam
melimpah, sangat disayangkan kemudian anak-anak daerah terlalu dini harus
bekerja dan tidak bersekolah.
Kekhawatiran
tersebutlah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Kukar mendeklarasikan ZBPA
sebagai solusi menyelamatkan anak-anak dari eksploitasi orang tua.
Sejak
dideklarasikannya ZBPA, pada 4 November 2002, jumlah pekerja anak di Kukar
mulai mengalami penurunan. Seperti diketahui, pada tahun 2002, tercatat, jumlah
pekerja anak di kabupaten tersebut mencapai 11.623 orang. Kemudian pada 2004,
penurunan angka kembali terjadi yakni menjadi 6.336 anak. Demikian ditahun
2005, jumlah itu berkurang menjadi 3.012 orang.
Komite
ZBPA pun ketika itu optimis akan terus menekan jumlah pekerja anak ditahun 2006
menjadi 1.605. Progres kerja itu menakjubkan. Bahkan ditargetkan 2008, tahun
lalu, Kukar bebas dari pekerja anak. Luar biasa! Dan benarkah tak ada lagi
pekerja anak di Kukar?
Angka-angka
penurunan pekerja anak boleh menakjubkan. Tapi realitas selalu menunjukkan lain
dari paparan data. Bukan tidak mungkin, bisa saja jumlah pekerja anak di Kukar masih tinggi. Target 2008, pada
tahun lalu, daerah kaya tersebut, menegaskan, bebas dari pekerja anak itu harus
diuji kembali. Benarkah target itu tercapai?
***
Pemerintah
daerah harus mengambil sikap serius terhadap pembinaan dan pengendalian pekerja
anak, terlebih lagi di wilayah-wilayah yang masih terisolir di hulu Mahakam.
Rendahnya sumber daya manusia menjadi faktor rentannya anak-anak menjadi ‘mesin
uang’ orang tua.
Selain
sumber daya manusia, persoalan yang juga sangat berpengaruh anak-anak harus
terpaksa bekerja karena persoalan kemiskinan dan infrastruktur pendidikan yang
tidak memadai. Dua faktor ini lebih mendominasi. Kemiskinan dapat mendorong
anak harus terpaksa bekerja membantu orangtuanya. Kemudian minimnya atau tidak
memadainya infrastuktur pendidikan sangat berpengaruh pula terhadap
perkembangan pola pikir anak.
Prinsipnya
keinginan belajar dan bersekolah itu dimiliki setiap anak. Namun lantaran
terbentur persoalan ekonomi dan kemiskinan, terkadang anak-anak pun terpaksa
harus memutuskan untuk bekerja dini. Ini gambaran pada umumnya yang terjadi.
Adanya pekerja anak di daerah ini tidak jauh dari persoalan yang melatarinya
yakni: masih rendahnya sumber daya manusia orangtua, kemiskinan, dan
infrastruktur yang kurang menunjang.
Karena itu, komitmen Kukar untuk
membebaskan anak-anak diusia 15-18 tahun dari eksploitasi pekerjaan yang
membuatnya kehilangan kesempatan bersekolah harus kembali ‘disegarkan’. ’Penyegaran’ untuk menegaskan komitmen
sebagai daerah ZBPA itu sangat perlu dilakukan sebagai upaya mewujudkan
cita-cita awal ZBPA itu sendiri.
‘Penyegaran’
tidak cukup hanya sekadar dilakukan ditingkat seremonial dan juga hanya
terfokus pada wilayah-wilayah kabupaten perkotaan. Harus ada pendataan jumlah
pekerja anak dan pendampingannya lebih luas ke wilayah-wilayah terisolir di
hulu Mahakam. Kukar dengan luas wilayah 27.263,10 Km2, bukan tidak mungkin,
jumlah anak-anak terpaksa bekarja membantu orangtuanya masih banyak.
Pekerjaan
rumah tersebut harus menjadi catatan penting pemerintah daerah. Mengupdate data
pekerja anak dan terus melindungi harkat hidup dan hak anak-anak untuk
bersekolah dan menerima akses pendidikan secara adil, itu, merupakan bagian
aset masa depan pembangunan Kukar.
Kukar
ke depan sangat bergantung pada generasi mudanya. Mencetak dan mempersiapkan
anak-anak sehat, terdidik, bermoral, dan sumber daya manusia yang siap bersaing
itu merupakan kekayaan berharga bagi daerah ini. Demikian sebaliknya,
membiarkan anak-anak tidak terdidik dan larut dalam kebodohan, kemiskian, serta
diperlakukan tidak baik akan sangat berdampak pada kemajuan Kukar kedepannya.[]
*)
Blogger dan Citizen Journalist
No comments:
Post a Comment