Wednesday, June 24, 2009

Kukar dan Zona Bebas Pekerja Anak

Oleh: Guntur Pribadi *)

“Ketika kita berbicara kepada anak-anak, kita tidak membicarakan mereka sebagai suatu ras, bangsa ataupun ideologi. Kita membicarakan anak dengan rasa tanggungjawab untuk melindungi hak-hak mereka…” (Prof. Dr. H. Syaukani HR, SE., MM)

PENGGALAN pidato Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Prof. Dr. H. Syaukani HR, SE., MM, tersebut, disampaikan dalam Konferensi Perburuhan Internasional (Internationl Labour Conference) ke-59, di ruang sidang utama Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa  di Jenewa Swiss, Jumat 9 Juni 2006. Didepan ratusan anggota delegasi dari 178 negara serta pengamat dari berbagai lembaga dunia, Kukar bertekad untuk mewujudkannya.

Adalah prestasi yang sangat terhormat bagi Kukar ketika mendapat kesempatan menyuarakan hak-hak anak. Kebijakan pemerintah setingkat kabupaten, yang dengan tegas membebaskan pekerja anak merupakan buah kesadaran luar biasa. Seandainya ini menjadi komitmen nasional yang serius, kita tidak bisa membayangkan betapa anak-anak bangsa ini mendapatkan hak-haknya: menimba ilmu dan mendapatkan perlindungan anak dari kekerasan.

Terlepas dari kontroversinya, Syaukani HR tetaplah sebagai tokoh penting di Kukar, yang menegaskan komitmenya, untuk menekan jumlah pekerja anak di daerah dalam program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA).

Beberapa tahun lalu, jumlah pekerja anak di Kukar terbilang banyak. Kondisi ini memang meresahkan. Apalagi daerah ini dikenal memiliki potensi dan kekayaan alam melimpah, sangat disayangkan kemudian anak-anak daerah terlalu dini harus bekerja dan tidak bersekolah.

Kekhawatiran tersebutlah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Kukar mendeklarasikan ZBPA sebagai solusi menyelamatkan anak-anak dari eksploitasi orang tua.

Sejak dideklarasikannya ZBPA, pada 4 November 2002, jumlah pekerja anak di Kukar mulai mengalami penurunan. Seperti diketahui, pada tahun 2002, tercatat, jumlah pekerja anak di kabupaten tersebut mencapai 11.623 orang. Kemudian pada 2004, penurunan angka kembali terjadi yakni menjadi 6.336 anak. Demikian ditahun 2005, jumlah itu berkurang menjadi 3.012 orang.

Komite ZBPA pun ketika itu optimis akan terus menekan jumlah pekerja anak ditahun 2006 menjadi 1.605. Progres kerja itu menakjubkan. Bahkan ditargetkan 2008, tahun lalu, Kukar bebas dari pekerja anak. Luar biasa! Dan benarkah tak ada lagi pekerja anak di Kukar?

Angka-angka penurunan pekerja anak boleh menakjubkan. Tapi realitas selalu menunjukkan lain dari paparan data. Bukan tidak mungkin, bisa saja jumlah pekerja anak di Kukar masih tinggi. Target 2008, pada tahun lalu, daerah kaya tersebut, menegaskan, bebas dari pekerja anak itu harus diuji kembali. Benarkah target itu tercapai?

***
Pemerintah daerah harus mengambil sikap serius terhadap pembinaan dan pengendalian pekerja anak, terlebih lagi di wilayah-wilayah yang masih terisolir di hulu Mahakam. Rendahnya sumber daya manusia menjadi faktor rentannya anak-anak menjadi ‘mesin uang’ orang tua.

Selain sumber daya manusia, persoalan yang juga sangat berpengaruh anak-anak harus terpaksa bekerja karena persoalan kemiskinan dan infrastruktur pendidikan yang tidak memadai. Dua faktor ini lebih mendominasi. Kemiskinan dapat mendorong anak harus terpaksa bekerja membantu orangtuanya. Kemudian minimnya atau tidak memadainya infrastuktur pendidikan sangat berpengaruh pula terhadap perkembangan pola pikir anak.

Prinsipnya keinginan belajar dan bersekolah itu dimiliki setiap anak. Namun lantaran terbentur persoalan ekonomi dan kemiskinan, terkadang anak-anak pun terpaksa harus memutuskan untuk bekerja dini. Ini gambaran pada umumnya yang terjadi. Adanya pekerja anak di daerah ini tidak jauh dari persoalan yang melatarinya yakni: masih rendahnya sumber daya manusia orangtua, kemiskinan, dan infrastruktur yang kurang menunjang.

Karena itu, komitmen Kukar untuk membebaskan anak-anak diusia 15-18 tahun dari eksploitasi pekerjaan yang membuatnya kehilangan kesempatan bersekolah harus kembali ‘disegarkan’. ’Penyegaran’ untuk menegaskan komitmen sebagai daerah ZBPA itu sangat perlu dilakukan sebagai upaya mewujudkan cita-cita awal ZBPA itu sendiri.

‘Penyegaran’ tidak cukup hanya sekadar dilakukan ditingkat seremonial dan juga hanya terfokus pada wilayah-wilayah kabupaten perkotaan. Harus ada pendataan jumlah pekerja anak dan pendampingannya lebih luas ke wilayah-wilayah terisolir di hulu Mahakam. Kukar dengan luas wilayah 27.263,10 Km2, bukan tidak mungkin, jumlah anak-anak terpaksa bekarja membantu orangtuanya masih banyak.

Pekerjaan rumah tersebut harus menjadi catatan penting pemerintah daerah. Mengupdate data pekerja anak dan terus melindungi harkat hidup dan hak anak-anak untuk bersekolah dan menerima akses pendidikan secara adil, itu, merupakan bagian aset masa depan pembangunan Kukar.

Kukar ke depan sangat bergantung pada generasi mudanya. Mencetak dan mempersiapkan anak-anak sehat, terdidik, bermoral, dan sumber daya manusia yang siap bersaing itu merupakan kekayaan berharga bagi daerah ini. Demikian sebaliknya, membiarkan anak-anak tidak terdidik dan larut dalam kebodohan, kemiskian, serta diperlakukan tidak baik akan sangat berdampak pada kemajuan Kukar kedepannya.[]

*) Blogger dan Citizen Journalist

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.