Tuesday, June 30, 2009

Poligami, “Kekuasaan”, “Kejantanan”


Oleh: Guntur Pribadi *)

MASIH ingat film garapan sutradara Hanung Bramantyo: Ayat-Ayat Cinta (AAC), yang pernah meledak dipasaran film nasional tahun 2008, lalu. Bukan karena alur ceritanya yang relegius. Tapi yang lebih bernilai dari film AAC adalah pelajaran berharga menyangkut persoalan poligami.


Mengapa sosok Fahri (Ferdi Nuril) begitu berat dengan keinginan istrinya Aisyah agar Fahri menikahi Maria. Adalah sangat tidak mungkin Fahri membagi cinta Aisyah kepada Maria. Apalagi mengamati sosok Aisyah yang saleh, pintar, dan selalu ingin memberikan yang terbaik kepada suaminya, Fahri.


Namun, mengapa kemudian jalan menikahi Maria diambil Fahri. Apakah atas nama cinta? Apakah atas nama Tuhan? Apakah atas nama ajaran agama? Tentu bukan semua alasan itu. Fahri menikahi Maria lantaran “desakan” Aisyah. Sebuah kisah yang tentu sangat kontras dengan alasan berpoligami yang pada ujungnya merugikan hak dan perasaan banyak wanita.


Berpoligami atas desakan istri memang lain dari konsep dasar awal poligami itu sendiri. Pada umumnya, poligami adalah keinginan atau “hak istimewa” seorang suami. Dalam Al-Quran, Surah An-Nisa, ada ayat yang secara eksplisit “membolehkan” untuk berpoligami: dua, tiga, atau empat istri (ayat 3). Dan ayat ini pula yang menjadi dasar bagi para pelaku poligami.


Prinsipnya redaksi ayat tersebut tidak salah. Islam memang pernah memiliki kondisi masa yang membolehkan suami untuk beristri lebih. Itupun dalam konteks situasi sosial untuk melindungi anak yatim piatu dan para janda yang suaminya mati dalam peperangan.


Tak hanya itu saja, poligami masa awal perkembangan Islam juga memiliki muatan dakwah yang saat itu pemeluk Islam masih sedikit, maka poligami merupakan bagian strategi dakwah. Selain itu pula, poligami pada masa itu memiliki visi kemanusiaan, yang dengan berpoligami antar suku bertujuan untuk mencegah perperangan dan konflik.


Sayangnya alasan sejarah berpoligami tersebut tidak pernah dikaji mendalam para pelaku poligami. Selebihnya “beristri banyak” dimaknai sebagai “sunah nabi”, “kekuasaan” atau “kejantanan” lelaki. Pemaknaan yang multitafsir itulah, praktik poligami dianggap halal untuk dilakukan tanpa melihat sebab pembolehan.


Padahal, jika dikaji terusan ayat “penghalalan” poligami, pada Surah An-Nisa, akan tampak aturan agama yang menyiratkan makna kemanusiaan yakni soal keadilan dalam berpoligami. “Ayat poligami” itu tidak sekadar bicara pembolehan beristri lebih dari tiga, tapi juga menegaskan keadilan dalam berumah tangga. Inilah masalahnya mengapa poligami menjadi sorotan bagi penolaknya.


Soal keadilan memang bukan sesuatu yang dilihat hanya dari fisik atau harta. Keadilan itu menyangkut perasaan hati. Bisa saja adil itu diucapkan, tapi adil tidak bisa diukur dengan hati. Karena itu, tidak ada sesungguhnya, seorang istri ingin dimadu sekalipun mengizinkan suaminya menikah lagi lantaran darurat: istri cacat badan, tidak bisa melahirkan, menderita penyakit permanen yang tak bisa lagi melayani suami.


Seperti dalam film AAC, Fahri melakukan poligami bukan karena sebuah keegoan sebagai suami. Tapi desakan Aisyah. Sosok Fahri yang “diterjemahkan” seperti Nabi Yusuf yang tampan dan cerdas serta memiliki rasa kemanusiaan tersebutlah, yang membuat Maria jatuh cinta, meskipun ia tahu Fahri telah beristrikan Aisyah. Tapi ending film itu tetaplah Fahri bersama Aisyah.


Kedahsyatan cinta dalam AAC memang tidak bisa dijadikan referensi untuk membenarkan poligami dalam praktiknya. Lihat saja dalam dramanya, Aisyah sendiri menangis setelah mengizinkan Fahri menikah dengan Maria. Ada benturan psikologis yang sebenarnya tak dapat diucapkannya. Lantas bagaimana dengan istri-istri yang suaminya beristri lebih dari tiga atau sampai sepuluh. Apa tidak lebih tertekan keadilannya.


Dalam kitab kumpulan hadis, dikisahkan, Nabi Muhammad sempat memprotes sikap Ali bin Abi Tahlib yang berencana akan memadu Fatimah. Nabi, dengan tegas, tidak mengizinkan Ali untuk menduakan putrinya: “Sungguh aku tidak izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putrid mereka” (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).


Di Indonesia, kebolehan untuk melakukan poligami diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat saja dalam pasal 3 ayat 2, pelaku poligami mendapat ruangnya dengan catatan adanya “kesepahaman” dari pihak-pihak yang bersangkutan. Padahal pada pasal 3 ayat 1, di UU yang sama, prinsipnya laki-laki hanya boleh mempunyai satu istri. Demikian pula seoarang istri hanya boleh memiliki satu suami.


Dari regulasi tersebut tampak ada inkonsistensi pasal. Satu sisi pembolehan poligami, disisi lain pelarangan. Dalam aturan inilah, sebenarnya, bisa dilihat betapa terjadinya benturan kepentingan antara suami dan istri. Satu pihak suami memiliki ruang untuk beristri lebih, disatu pihak kepentingan istri untuk memiliki cukup suami satu terabaikan.


Ironisnya lagi, regulasi perkawinan tersebut juga menjadi pementahan sebagaian orang yang menolak praktik poligami. Sebenarnya UU Perkawinan merupakan pembenaran dari praktik itu. Demikian halnya, poligami dalam teks dan realitasnya pun tak dapat dipungkiri. Tak sedikit pula, sejumlah panutan masyarakat di negeri ini juga mempraktikan hidup beristri banyak.


Jadi solusinya, tidak cukup sekadar menyalahkan “UU poligami” yang ada. Yang perlu “direvisi” persepsi dan budaya masyarakatnya terhadap pemaknaan poligami. Meskipun UU tegas melarang berpoligami, tapi masyarakatnya membudayakannya, akan tetap sulit pula melarang suami beristri banyak. Inilah “kultur” lelaki yang terlanjur menafsirkan hidup berpoligami sebagai “sunah nabi”, “kekuasaan” dan “kejantanan” tanpa mengkaji terusan “ayat poligami” yang menegaskan: “engkau (laki-laki) tidak akan berlaku adil, walaupun berusaha keras untuk itu (adil).” []


*) Lelaki yang Masih Meraba-raba Teks “Ayat Poligami”

Sumber Ilustrasi: http://img402.imageshack.us/i/cartoon40ed.jpg/

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.