Saturday, June 20, 2009

Indonesia dalam Debat Capres

Oleh: Guntur Pribadi *)

“Indonesia hari ini adalah bagian potret Indonesia masa depan. Tak ada jalan lain kecuali 'berpikir teknis' untuk melakukan perubahan…”

DEBAT calon presiden (capres) yang disiarkan beberapa televisi swasta, Kamis malam (18/6), bagi saya, masih jauh dari realitas dan belum menyentuh persoalan pokok negeri ini. Maaf, bahkan terkadang membosankan, karena tidak ada program-program capres yang memberikan ‘darah’ semangat perubahan dan harapan.

Melihat begitu kompleksnya persoalan bangsa, harusnya minimal dapat ‘tercerahkan’ dalam debat capres. Tapi, dalam amatan saya, itu semua masih belum terurai dan mendapat respon. Hanya memang ada salah satu capres yang dengan bahasa ‘rakyat’ membidik persoalan kecil berdampak nasional seperti, persoalan kasus Prita Mulyasari. Tapi itu pun juga belum menyentuh jalan keluar membebaskan bangsa ini dari ancaman kebebasan berekspresi.

Indonesia memang tidak seperti awal didirikannya dengan semangat perjuangan para pelopornya. Indonesia saat ini, diakui atau tidak, terlanjur dibangun dengan semangat golongan dan kelompok. Jadi, bagi saya, ya, tidak mengherankan, masih sangat sulit untuk melihat secara obyektif persoalan-persoalan yang terjadi ditingkat masyarakat kelas bawah.

Debat malam itu masih jauh dari cara berpikir perubahan. Tapi yang terlihat masih berputar-putar dengan ‘hayalan’ Indonesia kedepan. Padahal ditengah kondisi dan pelbagai kompleksitasnya, Indonesia tidak relevan lagi diterjemahkan dalam ‘hayalan-hayalan’ membangun. Riil sajalah menyikapinya. Kata orang fakir-miskin, “Besok bisa makan apa tidak?.”

Strategi dan program Indonesia lima tahun kedepan, tidak cukup sekadar didebatkan. Kalau didebatkan terus, kapan bangsa ini mau sama-sama berpikir bangkit dari menyibukan diri berdebat. Lihat saja negeri-negeri tetangga kita, mereka lebih sibuk mengurusi harga diri dan martabat bangsanya. Mereka sibuk berpikir dan bekerja keras meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya masing-masing. Nah kita?

Harusnya, menurut saya, capres lebih berpikir teknis untuk membangun Indonesia kedepan. Bukan berpikir wacana melulu. Kadang-kadang kita memang perlu berpikir wacana. Tapi teknis untuk melakukan perubahan itu sangat mendesak. Apa bangsa ini mau dikasih makan janji, wacana, atau visi misi. Sekali lagi, riil sajalah melihat Indonesia hari ini.

Berpikir teknis dalam membangun Indonesia kedepan tentu berbeda dengan cara berpikir wacana. Teknis lebih diartikan cara, metode, dan taktik kerja pemimpin dan kabinetnya. Sementara jika kita berpikir wacana, itu artinya kita masih dalam tahap rencana yang terkadang jauh dari realitas yang dihadapi.

‘Berpikir teknis’ pada prinsipnya merupakan cara kerja berpikir yang logis dan empiris. Meneropong persoalan bangsa saat ini dan kedepan tidak sekadar dirancang atau dihayal-hayal. Seperti merakit mesin kendaraan agar baik berputar dan stabil, seorang ahli mesin tidak saja hanya mengkonsep atau menggambar mesin. Tapi ahli mesin yang visioner, ia juga tahu merakit mesin dan menjalankan mesin sesuai rancangan awal.

Indonesia hari ini sesungguhnya adalah potret pemerintahan yang ada. Awalnya terbentuknya pun dari visi dan misi calon pemimpin yang pernah ‘dipasarkan’ kepada pemilihnya. Demikian halnya, berhasil atau tidaknya Indonesia hari ini juga diukur dari pemerintahan yang ada. Jadi, hari inilah sebenar-benarnya Indonesia. Mau dipoles seperti apa kedepannya, Indonesia akan sangat tergantung siapa yang ‘menyetirnya.’

Mau Indonesia terpulihkan dari krisis ekonomi berkepanjangan. Mau bangsa ini sumber daya manusianya meningkat. Mau pengangguran dapat lebih banyak terserap di dunia kerja. Mau kemiskinan dapat ditekan. Mau kehidupan petani, nelayan, pedagang, wirausaha, buruh, meningkat kesejahterannya. Mau dunia usaha lebih maju. Itu semua tergantung dari semangat dan jiwa pemimpin bangsanya untuk ‘menyetirnya.’

Yang jelas, menurut saya, debat capres masih belum menyentuh kebutuhan realitas bangsa. Yang lebih ingin dirasakan dan dibutuhkan bangsa ini, seperti layaknya teriakan orang-orang fakir dan miskin, “Hari ini kita bisa makan. Dan besok kita masih bisa makan. Terus kita sebagai rakyat merasakan kesejahteraan.” []

*) Bagian bangsa Indonesia tinggal di Kalimantan Timur

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.