Wednesday, June 17, 2009

Selamatkan Ambalat tanpa Konflik


Oleh: Guntur Pribadi *)

MEMANASNYA Blok Ambalat, beberapa pekan terakhir, memicu bangsa ini serukan untuk perang terhadap Malaysia. “Ini soal harga diri bangsa. NKRI adalah harga mati kami,” cetus Mansyur, Ketua Pemuda Merah Putih (PMP) Kabupaten Nunukan di hadapan media massa, belum lama ini.

Gejolak kesiapan perang juga sempat dinyatakan Wapres Yusuf Kalla usai membuka Rapat Kerja Nasional I Komite Pemuda Nasional Indonesia (KNPI) di Silae Convention Hall Swissbell Hotel Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu (5/6). Dihadapan sekitar 700 pemuda KNPI yang hadir, Calon Presiden RI ini, menegaskan, Indonesia siap perang jika perundingan mengalami jalan buntu (Tribun Kaltim, 6 Juni 2009). 

Lain halnya pernyataan Calon Presiden RI Megawati Sukarnaputri menanggapi provokasi kapal Angkatan Laut Tentara Diraja Malaysia di kawasan Ambalat, Kaltim. Dengan nada kesal, Megawati, menanggapi, kapal-kapal militer Malaysia yang bolak-balik dikawasan perbatasan itu sebagai ledekan.

“Saya panas, bolak-balik, bolak-balik, kayak ngeledek,” kata Megawati dihadapan media massa yang ketika itu ia didaulat untuk membuka acara diskusi bertajuk “Ambalat, Kedaulatan dan Pundi Negara” di Jakarta Media Center, Kebon Sirih, belum lama ini (5/6).

Sementara itu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan wartawan ketika melakukan pertemuan dengan delegasi Komisi I DPR RI menyikapi konflik Blok Ambalat. SBY dengan tegas, menyatakan, soal kedaulatan NKRI adalah harga mati. Kisruh perbatasan Ambalat harus segera diselesaikan.

Komitmen siap perang juga dilontarkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, beberapa waktu lalu (6/6). “Prinsip TNI adalah kalau kita ingin damai kita harus siap perang,” tegasnya kepada media massa (Kaltim Post, 6 Juni 2009).

Soal Harga Diri NKRI
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harkat dan martabat bangsa. Tidak ada bangsa di dunia ini yang harga dirinya ingin diprovokasi oleh bangsa lain. Apalagi diklaim wilayah kedaulatannya oleh negara asing.

Sejarah mencatat, NKRI didirikan dari pergolakan panjang yang tidak sedikit mengorbankan jiwa dan raga bangsa ini. Kesepahaman para pendiri bangsa membela kedaulatan Republik Indonesia (RI) merupakan harga mati. Bagi para pejuang terdahulu, NKRI adalah “Satu Nusa, Satu Bangsa” dari “Sambang hingga Marauke” atau memilih “Merdeka atau Mati”.

Perseteruan perbatasan Ambalat adalah soal harga diri NKRI. Konflik perbatasan wilayah perairan ini bukan kesekian kalinya. Aksi melanggar perbatasan kedaulatan bahkan sejak tahun-tahun sebelumnya pernah terjadi.

Sejak tahun 1967, persoalan batas wilayah perairan Indonesia-Malaysia sebenarnya telah dibahas. Pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia pun dilakukan. Kedua belah pihak akhirnya sepakat, yang kemudian pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia.

Anehnya, pada tahun 1979, pihak Malaysia membuat peta mengenai tapal batas kontinental dan maritim. Malaysia dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan. Secara sepihak, Negeri Jiran ini, membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya.

Peta kepulauan yang dibuat Malaysia itu pun menuai protes. Pasalnya, Malaysia telah melanggar Perjanjian Tapal Batas Kontinental tahun 1969 dan Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia tahun 1970. Tampak sikap Malaysia membuat peta sendiri tersebut sebagai bentuk “penjajahan” yakni melakukan ekspansi terhadap wilayah NKRI.

Prof Dr Hasyim Djalal, seperti dilansir belanegarari.wordpress.com, mengatakan, secara hukum serta berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional, Indonesia adalah pemilik sah wilayah Ambalat.

Pakar hukum laut internasional itu menerangkan, Indonesia adalah negara kelautan yang memiliki bukti dan dokumen sejak peninggalan pemerintah Belanda yang sangat kuat mengenai Nusantara, yang didalamnya memuat hukum laut, batas garis pangkal Nusantara dan meliputi batas laut dasar sampai pantai dasar serta mencakup posisi perairan Indonesia yang berada hingga mencapai 200 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif.

Mencari Jalan Tengah
Letupan semangat untuk membela Blok Ambalat dengan berperang sepertinya masih terlalu sensitif didengar. Namun kenyataannya, diperbatasan perairan blok yang dinilai memiliki potensi minyak bumi dan gas (migas) itu, kapal dan pesawat militer TNI telah tampak menunjukan aksinya. Tinggal tunggu instruksi perang dari Panglima Tinggi TNI, perang bisa saja meledak.

Ambalat dan perang? Bisa jadi ini jalan buntu. Dua negara bertetangga dan sebenarnya masih serumpun ini akan berperang bila batas wilayah Ambalat terus-terusan menjadi konflik. Indonesia tetap mengaku Ambalat adalah bagian kedaulatan NKRI. Demikian halnya Malaysia yang memiliki peta kepulauan tersendiri, mengklaim Ambalat adalah bagian Negeri Jiran.
Sepertinya tak ada yang mengalah. Perang klaim wilayah lebih dahulu “meletup”. Aksi manuver kapal dan pesawat militer Indonesia dan Malaysia telah terjadi di perbatasan Blok Ambalat. Demikian situasi terakhir yang kian memanas.

Gaung perang yang didengungkan belakangan seperti tak main-main. Para pemuda perbatasan di Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim), menyatakan, siap perang. Tak itu saja, bahkan sejumlah organisasi kepemudaan seperti, Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU), KNPI Kaltim, dan organisasi pemuda lainnya di negeri ini pun, sepaham, untuk “melawan” aksi konfrontasi kapal-kapal militer Malaysia.

Bagaimana kemudian sikap pemerintah terhadap gaung perang yang didengungkan kalangan pemuda tersebut? Apakah perang benar-benar menjadi keputusan terakhir ketika tak ada “jalan lain” untuk menyelesaikan konflik perbatasan di Blok Ambalat? Jika demikian penyelesainnya apa sebenarnya yang telah dilakukan pemerintah dan diplomat kita untuk mencari jalan tengah pembahasan masalah perbatasan tersebut?

Para elit politik dan diplomat negeri ini seharusnya lebih tegas dan cepat mengambil kebijakan membela kedaulatan NKRI ini. Keputusan berperang yang didengungkan golongan pemuda dan masyarakat, belakangan ini, memang bisa menjadi jalan terakhir membela kedaulatan RI. Tapi apa tidak lebih baiknya para pemangku kekuasaan negeri ini lebih intens mencari jalan keluar dalam selisih perbatasan wilayah tersebut.

Ini masalah kedaulatan NKRI. Ambalat sebagai bagian wilayah kedaulatan wajib dibela. Tidak etis di tengah para pemuda dan masyarakat berteriak bela harga diri bangsa, para pemimpin negeri ini masih berseteru kepentingan kelompok.

Kita boleh berbeda pandangan tentang mau kemana negeri ini dibawa? Tapi untuk harkat dan martabat RI tidak ada harga tawar. NKRI, sekali lagi, harga mati, termasuk membela dan mempertahankan kedaulatan negeri ini.


*) Blogger dan Citizen Journalist


No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.