Oleh: Guntur
Pribadi *)
MEMANASNYA
Blok Ambalat, beberapa pekan terakhir, memicu bangsa ini serukan untuk perang
terhadap Malaysia. “Ini soal harga diri bangsa. NKRI adalah harga mati kami,”
cetus Mansyur, Ketua Pemuda Merah Putih (PMP) Kabupaten Nunukan di hadapan
media massa, belum lama ini.
Gejolak
kesiapan perang juga sempat dinyatakan Wapres Yusuf Kalla usai membuka Rapat
Kerja Nasional I Komite Pemuda Nasional Indonesia (KNPI) di Silae Convention
Hall Swissbell Hotel Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu (5/6).
Dihadapan sekitar 700 pemuda KNPI yang hadir, Calon Presiden RI ini,
menegaskan, Indonesia siap perang jika perundingan mengalami jalan buntu
(Tribun Kaltim, 6 Juni 2009).
Lain halnya
pernyataan Calon Presiden RI Megawati Sukarnaputri menanggapi provokasi kapal
Angkatan Laut Tentara Diraja Malaysia di kawasan Ambalat, Kaltim. Dengan nada
kesal, Megawati, menanggapi, kapal-kapal militer Malaysia yang bolak-balik
dikawasan perbatasan itu sebagai ledekan.
“Saya panas, bolak-balik, bolak-balik, kayak ngeledek,” kata Megawati
dihadapan media massa yang ketika itu ia didaulat untuk membuka acara diskusi
bertajuk “Ambalat, Kedaulatan dan Pundi Negara” di Jakarta Media Center, Kebon
Sirih, belum lama ini (5/6).
Sementara
itu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapan wartawan ketika
melakukan pertemuan dengan delegasi Komisi I DPR RI menyikapi konflik Blok
Ambalat. SBY dengan tegas, menyatakan, soal kedaulatan NKRI adalah harga mati.
Kisruh perbatasan Ambalat harus segera diselesaikan.
Komitmen
siap perang juga dilontarkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, beberapa
waktu lalu (6/6). “Prinsip TNI adalah kalau kita ingin damai kita harus siap
perang,” tegasnya kepada media massa (Kaltim Post, 6 Juni 2009).
Soal Harga Diri NKRI
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harkat dan martabat bangsa.
Tidak ada bangsa di dunia ini yang harga dirinya ingin diprovokasi oleh bangsa
lain. Apalagi diklaim wilayah kedaulatannya oleh negara asing.
Sejarah
mencatat, NKRI didirikan dari pergolakan panjang yang tidak sedikit
mengorbankan jiwa dan raga bangsa ini. Kesepahaman para pendiri bangsa membela
kedaulatan Republik Indonesia (RI) merupakan harga mati. Bagi para pejuang
terdahulu, NKRI adalah “Satu Nusa, Satu Bangsa” dari “Sambang hingga Marauke”
atau memilih “Merdeka atau Mati”.
Perseteruan
perbatasan Ambalat adalah soal harga diri NKRI. Konflik perbatasan wilayah
perairan ini bukan kesekian kalinya. Aksi melanggar perbatasan kedaulatan
bahkan sejak tahun-tahun sebelumnya pernah terjadi.
Sejak tahun
1967, persoalan batas wilayah perairan Indonesia-Malaysia sebenarnya telah
dibahas. Pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia pun
dilakukan. Kedua belah pihak akhirnya sepakat, yang kemudian pada tanggal 27
Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia
yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia.
Anehnya,
pada tahun 1979, pihak Malaysia membuat peta mengenai tapal batas kontinental
dan maritim. Malaysia dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara
kepulauan. Secara sepihak, Negeri Jiran ini, membuat perbatasan maritimnya
sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya.
Peta
kepulauan yang dibuat Malaysia itu pun menuai protes. Pasalnya, Malaysia telah
melanggar Perjanjian Tapal Batas Kontinental tahun 1969 dan Persetujuan Tapal
Batas Laut Indonesia-Malaysia tahun 1970. Tampak sikap Malaysia membuat peta
sendiri tersebut sebagai bentuk “penjajahan” yakni melakukan ekspansi terhadap
wilayah NKRI.
Prof Dr
Hasyim Djalal, seperti dilansir belanegarari.wordpress.com,
mengatakan, secara hukum serta berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional,
Indonesia adalah pemilik sah wilayah Ambalat.
Pakar hukum
laut internasional itu menerangkan, Indonesia adalah negara kelautan yang
memiliki bukti dan dokumen sejak peninggalan pemerintah Belanda yang sangat
kuat mengenai Nusantara, yang didalamnya memuat hukum laut, batas garis pangkal Nusantara dan meliputi batas laut dasar sampai pantai dasar serta mencakup
posisi perairan Indonesia yang berada hingga mencapai 200 mil dari Zona Ekonomi
Eksklusif.
Mencari Jalan Tengah
Letupan
semangat untuk membela Blok Ambalat dengan berperang sepertinya masih terlalu
sensitif didengar. Namun kenyataannya, diperbatasan perairan blok yang dinilai
memiliki potensi minyak bumi dan gas (migas) itu, kapal dan pesawat militer TNI
telah tampak menunjukan aksinya. Tinggal tunggu instruksi perang dari Panglima
Tinggi TNI, perang bisa saja meledak.
Ambalat dan
perang? Bisa jadi ini jalan buntu. Dua negara bertetangga dan sebenarnya masih
serumpun ini akan berperang bila batas wilayah Ambalat terus-terusan menjadi
konflik. Indonesia tetap mengaku Ambalat adalah bagian kedaulatan NKRI.
Demikian halnya Malaysia yang memiliki peta kepulauan tersendiri, mengklaim
Ambalat adalah bagian Negeri Jiran.
Sepertinya
tak ada yang mengalah. Perang klaim wilayah lebih dahulu “meletup”. Aksi
manuver kapal dan pesawat militer Indonesia dan Malaysia telah terjadi di
perbatasan Blok Ambalat. Demikian situasi terakhir yang kian memanas.
Gaung perang
yang didengungkan belakangan seperti tak main-main. Para pemuda perbatasan di
Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim), menyatakan, siap perang. Tak itu saja,
bahkan sejumlah organisasi kepemudaan seperti, Barisan Muda Nahdlatul Ulama
(BMNU), KNPI Kaltim, dan organisasi pemuda lainnya di negeri ini pun, sepaham,
untuk “melawan” aksi konfrontasi kapal-kapal militer Malaysia.
Bagaimana
kemudian sikap pemerintah terhadap gaung perang yang didengungkan kalangan
pemuda tersebut? Apakah perang benar-benar menjadi keputusan terakhir ketika
tak ada “jalan lain” untuk menyelesaikan konflik perbatasan di Blok Ambalat?
Jika demikian penyelesainnya apa sebenarnya yang telah dilakukan pemerintah dan
diplomat kita untuk mencari jalan tengah pembahasan masalah perbatasan tersebut?
Para elit
politik dan diplomat negeri ini seharusnya lebih tegas dan cepat mengambil
kebijakan membela kedaulatan NKRI ini. Keputusan berperang yang didengungkan
golongan pemuda dan masyarakat, belakangan ini, memang bisa menjadi jalan
terakhir membela kedaulatan RI. Tapi apa tidak lebih baiknya para pemangku
kekuasaan negeri ini lebih intens mencari jalan keluar dalam selisih perbatasan
wilayah tersebut.
Ini masalah
kedaulatan NKRI. Ambalat sebagai bagian wilayah kedaulatan wajib dibela. Tidak
etis di tengah para pemuda dan
masyarakat berteriak bela harga diri bangsa, para pemimpin negeri ini masih
berseteru kepentingan kelompok.
Kita boleh
berbeda pandangan tentang mau kemana negeri ini dibawa? Tapi untuk harkat dan
martabat RI tidak ada harga tawar. NKRI, sekali lagi, harga mati, termasuk membela dan mempertahankan kedaulatan negeri
ini.
*) Blogger
dan Citizen Journalist
No comments:
Post a Comment