Monday, July 06, 2009

Menilai Ragam Jajak Pendapat Pilpres

Oleh: Guntur Pribadi *)

MENJELANG pemilihan presiden (pilpres) langsung 2009, yang hanya tinggal menghitung hari, hampir setiap hari, bisa kita lihat, media massa menayangkan hasil jajak pendapat terkait respon publik terhadap masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Hasilnya pun dari sekian lembaga yang melakukan jajak pendapat beraneka ragam.

Kerja merekam pendapat publik merupakan kemajuan tersendiri di ranah kebijakan publik yang disumbangkan oleh ilmu statistik. Dengan adanya jajak pendapat, masyarakat dapat mengetahui perkembangan situasi dan kondisi seseorang, lembaga, maupun akumulasi respon mayoritas publik terhadap kebijakan pemerintah.

Saat ini dapat dilihat sejumlah lembaga yang mengumumkan hasil kerjanya terkait persepsi masyarakat terhadap pasangan capres dan cawapres di media massa. Lembaga “A”, misalnya, mengumumkan si capres “X” memiliki respon luar biasa dari masyarakat. Namun berbeda dari hasil jajak pendapat lembaga “R”, yang melansir “X” mendapat respon biasa-bisa saja, bahkan popularitas si capres dan cawapres dipersepsikan melorot.

Sulit menakar hasil jajak pendapat yang kebanyakan dilansir media massa. Tidak ada yang sama. Kalau toh ada kesamaan, yakni respon masyarakat yang baik terhadap pasangan capres dan cawapres, itu pun beda-beda tipis. Bahkan ada yang sama sekali memiliki hasil berlawanan dari jajak opini masyarakat yang ada. Inilah tantangan baru bagi publik untuk ‘meraba-raba’ calon pemimpinnya.

Dalam domain keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat di alam demokrasi, perbedaan-perbedaan hasil respon publik menanggapi pasangan capres dan cawapres itu hal biasa. Semua pihak pun boleh-boleh saja membuat pandangan tersendiri lewat jajak pendapatnya masing-masing.

Survey boleh saja memiliki ‘pendapat’ dan hasil tersendiri terhadap pasangan capres dan cawapres. Tapi kenyataan bisa saja berbeda. Boleh dilihat dari berbagai hasil survey lembaga-lembaga yang melakukan jajak pendapat, tidak ada yang sama. Bahkan terkadang jauh dari realitas. Ini sekaligus menunjukan, bahwa dalam pengambilan sampel saja lembaga-lembaga survey memiliki muatan ‘kerja’ yang berbeda-beda pula.

Bagi masyarakat yang melek terhadap keberadaan lembaga jajak pendapat, tentunya akan banyak tahu adanya perbedaan-perbedaan hasil respon publik tersebut. Namun, bagi masyarakat yang tidak mengerti, hasil rekam pendapat akan sangat berpengaruh sekali terhadap pembentukan opini, termasuk menciptakan pencitraan seseorang capres dan cawapres di mata publik.

Ditengah realitas politik Indonesia yang masyarakatnya masih menganut pencarian pemimpin berdasarkan ketokohan dan kharismatik, mengukur capres dan cawapres dari hasil jajak pendapat tampaknya akan sangat relevan untuk digunakan. Apalagi jika jajak opini dikelola oleh lembaga yang tidak independen atau lembaga yang bekerja berdasarkan sponsor tokoh tertentu, ‘mengobok-obok’ persepsi publik lewat jajak pendapat akan sangat efektif dijadikan ‘senjata’ politik.

Namun, terlepas dari kepentingan apapun, jajak pendapat dalam dunia politik Indonesia saat ini tak lagi dapat untuk dipungkiri. Mau tak mau, masyarakat harus berhadapan dengan berbagai laporan jajak pendapat dari beragam lembaga survey. Tak itu saja, publik pun juga harus jeli mempelajari dan mengetahui metodologi, area, dan jumlah responden serta kerakteristik populasi yang dipakai lembaga rekam pendapat.

***

Banyak cara berbagai lembaga melakukan jajak pendapat, diantaranya dengan menggunakan parameter respon jumlah populasi tertentu melalui alat telekomunikasi seperti via short message service (SMS) atau telepon, wawancara tatap muka langsung ke sejumlah responden, serta ada pula cara-cara lain seperti, membagi selebaran angket yang kemudian diisi oleh publik.

Dari berbagai cara tersebut yang tampak populer adalah menggunakan alat telekomunikasi dan wawancara tatap muka. Namun demikian, tidak berarti tanpa ada kelemahan dari masing-masing metodologi tersebut. Misalnya saja, mengukur respon masyarakat terhadap capres dan cawapres melalui telepon atau SMS, hasilnya pun hanya berdasarkan pada masyarakat pengguna alat telekomunikasi.

Jika yang didasarkan hanya melalui polling SMS, pertanyaannya beberapa banyak jumlah masyarakat di negeri ini yang menggunakan fasilitas komunikasi. Dan berapa persen kekuatan data yang benar-benar dapat dijadikan dasar untuk mengukur persepsi publik melalui jajak pendapat via alat komunikasi.

Demikian halnya jajak pendapat yang dilakukan, seandainya, dengan pendekatan tatap muka atau wawancara. Setidaknya, kita pun juga harus bisa mengerti mayoritas populasi dan karakteristik responden yang dijadikan dasar data. Jika yang dipakai hanya sebatas populasi dan area perkotaan, ini pun juga sangat tidak mewakili. Yang jelas masyarakat Indonesia tidak hanya tinggal diperkotaan, tapi dan bahkan lebih banyak tersebar dipedesaan. Perlu dicatat, perilaku pemilih masyarakat kota dan desa sangat berbeda.

Populeritas seorang capres dan cawapres boleh saja naik dalam jajak pendapat yang dilakukan pada masyarakat perkotaan. Tapi apa hasil jajak pendapat tersebut mewakili masyarakat desa atau dusun yang juga memiliki hak suara memilih. Kesimpulannya, rekam pendapat hanya dilakukan pada populasi, karakteristik responden dan area tertentu sangat tidak mewakili.

Survey pendapat apapun nama lembaganya dan metodologinya tidak berarti juga harus tidak dipakai. Setidaknya, keberadaan lembaga-lembaga yang mengelola pendapat publik itu merupakan bagian tersendiri bagi penghargaan yang luar biasa terhadap pembangunan demokrasi Indonesia. Namun, dari beraneka jajak pendapat yang ada, tetaplah masyarakat yang menjadi penilai dan yang memutuskannya pemilu 2009.

Lembaga rekam pendapat dengan berbagai variannya hanya sekadar melaporkan. Keberadaanya pun tidak berarti sebagai hakim. Sebagai lembaga rekam pendapat publik, kerjanya merupakan bagian dinamika dan kemajuan politik Indonesia saat ini yang layak untuk diapresiasi sebagai alat ukur persepsi masyarakat. Hasilnya pun, mau diterima atau tidak, publiklah yang menilai.[]

*) Penulis Citizen Journalist tinggal di Kaltim

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.