Wednesday, December 23, 2009

Kebebasan Berpendapat yang Dipenjarakan


Oleh: Guntur Pribadi

“Berpendapat adalah hak setiap individu yang harus dijamin dan dilindungi kebebasannya. Bukan dipenjarakan, diancam, dan diberedel”

Betapa mengerikan keberadaan hukum bila dipaksakan untuk memenjarakan kebebasan menyampaikan pendapat. Bayangkan, menyampaikan keluh kesah saja lewat fasilitas surat elektronik harus dipenjara. Dan itu yang pernah dialami oleh seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari.


Kasus Prita berawal dari curahan hatinya di sebuah surat elektronik terkait layanan sebuah rumah sakit internasional ternama di Tangerang kepada teman-temannya, yang dirasakannya tidak memuasakan. Hal ini, sebanarnya, diungkapkan Prita sebagai bagian perhatiannya terhadap keberadaan rumah sakit itu.

Bukannya mendapatkan respon baik. Keluh kesah Prita dinilai pihak rumah sakit merugikan. Ia pun kemudian dijerat pasal pencemaran nama baik yakni, pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dan gugatan perdata. Bahkan yang menyedihkan lagi, ibu dua anak itu pun sempat ditahan oleh kejaksaan negeri setempat lantaran kasus tersebut.

Inilah gambaran penegakan hukum kita terhadap warga yang tak berdaya. Hukum kita masih berwajah dua mengakui kebebasan berpendapat. Disatu sisi regulasi mengatur dan mengakui adanya kebebasan mengutarakan pendapat dan perbedaan. Disisi lain, hukum kita menyumbat beberapa ruang penting publik untuk menyampaikan kritik dan beropini.

Hukum kita ini seperti dua mata pisau: tajam ke bawah, tapi seringkali tumpul ke atas. Penerapan hukum yang ada selama ini tampak tajam mengenai masyarakat lemah. Sementara, menyelesaikan kasus-kasus besar, hukum kita tampak tumpul.

Terlihat dalam kasus Prita dan masyarakat lemah lainnya yang mengalami ketidakadilan hukum. Di negeri ini, mencari keadilan seperti mimpi. Kasus Prita adalah bagian potret, betapa mencari keadilan hukum di negeri ini, Prita harus mendapatkan dukungan keadilan dari banyaknya simpati masyarakat Indonesia lewat ‘koin cinta untuk Prita.’

Perlu kiranya dicatat untuk penegak hukum di negeri ini, bahwa nurani hukum tak sama dengan nurani kemanusiaan.

Prita adalah ikon perlawanan terhadap hukum yang tak bernurani dan adil. Tentu ini juga harus menjadi catatan dan evaluasi penerapan hukum yang dibuat hanya untuk membunuh kreatifitas berpikir dan berpendapat warga.

Itu karenanya, perjuangan menegakan keadilan oleh swadaya masyarakat jangan sampai terhenti sampai disini. Masih banyak ‘Prita-Prita’ lainnya yang mengalami peminggiran hak mendapatkan keadilan. Mereka butuh kita yang bernurani kemanusiaan dan memperjuangkan akses keadilan.

Tentu kita tetap berharap, hukum di negeri ini dapat secara adil membela dan melindungi hak-hak warga negara mendapatkan keadilan, termasuk kebebasan mengekspresikan pendapat di muka umum.[]

Sumber Ilustrasi: http://www.metroriau.com/foto_berita/small_90email-penjara.jpg

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.