Tuesday, March 29, 2011

Libya, antara Kemanusiaan dan Minyak


Oleh: Guntur Pribadi

SUDAH seminggu Libya diserang pasukan militer koalisi Barat. Serangan itupun disambut kritikan berbagai negara, termasuk Indonesia yang mengecam gempuran koalisi tak jelas. Tak itu saja, Presiden AS: Barack Obama pun ikut disambar kritikan atas komandonya itu.

Obama bersilat dengan argumennya: serangan dilakukan atas mandat Dewan Keamanan PBB lewat Resolusi Nomor 1973. Atas keputusan tersebut, militer koalisi Barat, sejak Sabtu (19/3), terus melakukan gempuran terhadap Libya, yang termasuk ikut mendominasi militer Prancis dan Inggris.

Resolusi yang diberlakukan untuk zona larangan terbang di Libya pun disambut baik oleh kelompok oposisi anti Kolonel Khadafi. Dikabarkan, Resolusi itu usulan AS, Inggris dan Libanon. Dari 15 negara, 10 negara menyetujui, dan 5 abstain: China, Rusia, Jerman, India, dan Brasil.

Tegasnya, alasan resolusi diberlakukan untuk melarang pesawat jet tempur Libya mengudara dan melindungi warga sipil tidak berdosa dari kekerasan pendukung Khadafi.

Khadafi yang disebut-sebut sebagai diktator tak menyerah terhadap serangan pasukan militer koalisi pimpinan AS. Ia terus bertahan, terus membalas serangan. Langit Libya yang kaya minyak mendadak bergemuruh dengan mesin-mesin senjata, lintasan timah panas, jet tempur, dan jerit warga.

Koalisi Barat, terutama AS, Inggris, Prancis, dan beberapa negara pendukung serangan lainnya adalah negara-negara pembawa misi kemanusiaan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Namun, jika kita saksikan, rasanya sulit menerima penyelesaian kemelut Libya dengan balasan serangan pasukan sekutu.

Koalisi Barat boleh saja beralasan serangan dilakukan untuk melindungi warga sipil. Tapi, kenyataan perang selalu menimbulkan kesengsaraan warga sipil. Tak ada perang diakhiri dengan kemenangan, tapi perang selalu berakhir kematian, kehancuran, ketakutan, dan kesengsaraan warga sipil.

Kita masih ingat invasi AS ke Irak yang membabibuta. Serangan sekutu terhadap negeri 1001 cerita itu telah memakan banyak korban warga sipil, selain itu kehancuran kota, dan kesengsaraan warga pasca perang. Kita juga sangat ingat, awal serangan dilakukan dengan alasan untuk ‘menghabisi’ Sadam Husein, yang dianggap diktator.

Libya bisa saja bernasib sama seperti Irak. Dua negara ini terkenal sebagai negeri kaya minyak. Ikut campur sekutu Barat dalam penyelesaian kemelut Libya juga menimbulkan pertanyaan besar. Ada tujuan apa serangan koalisi terhadap negara-negara kaya minyak tersebut?

Alasan serangan koalisi dalam misi penyelamatan kemanusiaan warga sipil sangat diragukan. Sekali lagi, tak ada perang berakhir happy ending. Perang selalu menyisakan isak, dengan korban utama masyarakat sipil. Dan tak ada logika perang tidak berujung pada penguasaan.

Serangan koalisi Barat terhadap Libya tentu saja memiliki tujuan. Libya yang dikenal sebagai negara kaya minyak bukan tidak mungkin menjadi target penguasaan energi oleh negara-negara sekutu, termasuk menyingkirkan perusahaan yang menguasai minyak di negeri itu, seperti perusahaan Cina. Jadi, apa iya, dibalik serangan militer koalisi hingga hari ini telah berhasil melindungi warga sipil dan tanpa kepentingan lain?

Dan harus kita ingat, tak ada logika perang tanpa tujuan. Perang adalah identitas kekuataan. Serangan dalam perang berarti penguasaan. Sekutu Barat boleh saja beralasan, serangan dilakukan untuk menggulingkan Khadafi yang dianggap diktator dan melindungi warga sipil. Tapi, perang dan serangan tetaplah bukan penyelesai kemelut. Perang tak lebih bertujuan untuk berkuasa. Dan sekutu telah menegaskannya, tidak saja lewat serangan koalisi Barat, tapi juga lewat agenda besarnya untuk dapat ikut menguasai negara kaya minyak, Libya. []


Tulisan ini pernah dimuat juga di http://politik.kompasiana.com/2011/03/29/libya-antara-kemanusiaan-dan-minyak/

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.