Oleh: Guntur Pribadi
SUDAH
seminggu Libya diserang pasukan militer koalisi Barat. Serangan itupun disambut
kritikan berbagai negara, termasuk Indonesia yang mengecam gempuran koalisi tak
jelas. Tak itu saja, Presiden AS: Barack Obama pun ikut disambar kritikan atas
komandonya itu.
Obama
bersilat dengan argumennya: serangan dilakukan atas mandat Dewan Keamanan
PBB lewat Resolusi Nomor 1973. Atas keputusan tersebut, militer koalisi Barat,
sejak Sabtu (19/3), terus melakukan gempuran terhadap Libya, yang termasuk ikut
mendominasi militer Prancis dan Inggris.
Resolusi
yang diberlakukan untuk zona larangan terbang di Libya pun disambut baik oleh
kelompok oposisi anti Kolonel Khadafi. Dikabarkan, Resolusi itu usulan AS,
Inggris dan Libanon. Dari 15 negara, 10 negara menyetujui, dan 5 abstain:
China, Rusia, Jerman, India, dan Brasil.
Tegasnya,
alasan resolusi diberlakukan untuk melarang pesawat jet tempur Libya mengudara
dan melindungi warga sipil tidak berdosa dari kekerasan pendukung Khadafi.
Khadafi
yang disebut-sebut sebagai diktator tak menyerah terhadap serangan pasukan
militer koalisi pimpinan AS. Ia terus bertahan, terus membalas serangan. Langit
Libya yang kaya minyak mendadak bergemuruh dengan mesin-mesin senjata, lintasan
timah panas, jet tempur, dan jerit warga.
Koalisi
Barat, terutama AS, Inggris, Prancis, dan beberapa negara pendukung serangan
lainnya adalah negara-negara pembawa misi kemanusiaan, hak asasi manusia, dan
demokrasi. Namun, jika kita saksikan, rasanya sulit menerima penyelesaian
kemelut Libya dengan balasan serangan pasukan sekutu.
Koalisi
Barat boleh saja beralasan serangan dilakukan untuk melindungi warga sipil.
Tapi, kenyataan perang selalu menimbulkan kesengsaraan warga sipil. Tak ada
perang diakhiri dengan kemenangan, tapi perang selalu berakhir kematian,
kehancuran, ketakutan, dan kesengsaraan warga sipil.
Kita
masih ingat invasi AS ke Irak yang membabibuta. Serangan sekutu terhadap negeri
1001 cerita itu telah memakan banyak korban warga sipil, selain itu kehancuran
kota, dan kesengsaraan warga pasca perang. Kita juga sangat ingat, awal
serangan dilakukan dengan alasan untuk ‘menghabisi’ Sadam Husein, yang dianggap
diktator.
Libya
bisa saja bernasib sama seperti Irak. Dua negara ini terkenal sebagai negeri
kaya minyak. Ikut campur sekutu Barat dalam penyelesaian kemelut Libya juga
menimbulkan pertanyaan besar. Ada tujuan apa serangan koalisi terhadap
negara-negara kaya minyak tersebut?
Alasan
serangan koalisi dalam misi penyelamatan kemanusiaan warga sipil sangat
diragukan. Sekali lagi, tak ada perang berakhir happy ending.
Perang selalu menyisakan isak, dengan korban utama masyarakat sipil. Dan tak
ada logika perang tidak berujung pada penguasaan.
Serangan
koalisi Barat terhadap Libya tentu saja memiliki tujuan. Libya yang dikenal
sebagai negara kaya minyak bukan tidak mungkin menjadi target penguasaan energi
oleh negara-negara sekutu, termasuk menyingkirkan perusahaan yang menguasai
minyak di negeri itu, seperti perusahaan Cina. Jadi, apa iya,
dibalik serangan militer koalisi hingga hari ini telah berhasil melindungi
warga sipil dan tanpa kepentingan lain?
Dan
harus kita ingat, tak ada logika perang tanpa tujuan. Perang adalah identitas
kekuataan. Serangan dalam perang berarti penguasaan. Sekutu Barat boleh saja
beralasan, serangan dilakukan untuk menggulingkan Khadafi yang dianggap
diktator dan melindungi warga sipil. Tapi, perang dan serangan tetaplah bukan
penyelesai kemelut. Perang tak lebih bertujuan untuk berkuasa. Dan sekutu telah
menegaskannya, tidak saja lewat serangan koalisi Barat, tapi juga lewat agenda
besarnya untuk dapat ikut menguasai negara kaya minyak, Libya. []
Tulisan ini pernah
dimuat juga di http://politik.kompasiana.com/2011/03/29/libya-antara-kemanusiaan-dan-minyak/
No comments:
Post a Comment