Monday, March 28, 2011

Mempersoalkan Perbedaan, Pentingkah?

Oleh: Guntur Pribadi

PERBEDAAN sepertinya masih menjadi kosa kata yang asing diterima. Ia bagai momok dan terkadang ancaman dalam keseragaman. Ia terkadang ditolak: diasingkan dari pikiran-pikiran yang selalu mengatakan kebenaran itu tunggal.

Di negeri ini, perbedaan masih rumit untuk mendapatkan tempat yang tepat. Ruangnya terkadang digedor oleh individu, kelompok, golongan yang selalu mengatasnamakan ‘kebenaran’. Ia dipinggirkan karena mengancam. Ia tindas karena tak ‘seiman’. Ia dicaci dan dimaki karena dinilai mengotori ‘kebenaran’.

Mengapa kita masih mempersoalkan perbedaan?

Perbedaan pendapat dan keyakinan sesungguhnya naluri. Ranahnya pada hati dan pikiran. Dan memang, sesungguhnya, tak ada isi pikiran dan hati manusia itu sama. Pepatah Arab menyusunnya: "kullu ro`sin ro`yun" (setiap kepala mempunyai pendapat).

Pergolakan perbedaan pendapat, sekalipun itu pada wilayah keyakinan, sejujurnya adalah persoalan interaksi dan komunikasi manusia. Ia dipersoalkan karena disumbat sehingga tak ada ruang untuknya dimaklumi. Ia seringkali diberangus lantaran tak se-iya, se-kata. Ia bahkan dinilai membahayakan pikiran dan keyakinan.

Di negeri ini, tak ‘seragam’ dalam pandangan dan keyakinan pun masih dianggap mengancam. Orang ataupun kelompok yang mengkritisi kebijakan, salah-salah bisa saja dinilai pengancam. Orang ataupun kelompok yang berbeda keyakinannya dalam mempraktekan dogmanya, sewaktu-waktu biasa saja dinilai menodai agama.

Peristiwa kekerasan untuk menolak perbedaan, baik itu mengatasnamakan agama, ideologi, ataupun atasnama ‘fanatisme’ kelompok seperti yang terjadi belakangan ini, adalah potret betapa kita sesungguhnya masih menjadi bangsa yang suka mempersoalkan ketidakseragaman berpikir dan hati.

Persoalan pendapat dan keyakinan adalah masalah pikiran dan hati. Tentu tak ada yang sama isi persepsi yang dimiliki masing-masing manusia. Kalau toh ada kesepahaman, itu dikarenakan adanya tempat dialog perbedaan yang diberikan: bukan karena paksaan harus ‘seragam’.

Menyumbat perbedaan hanya akan menimbulkan keterpaksaan dalam ‘mengimani’ makna kebenaran yang dipersepsikan. Sebab itu, perbedaan dalam ruangnya, dimana pun adanya, harusnya mendapat tempat untuk dilindungi, dijaga, dan tidak dipaksakan untuk harus sama.

Dalam tradisi keilmuan agama Islam, misalnya. Perbedaan pendapat yang terjadi pada wilayah bersifat ijtihadi (pendapat) dianggap sebagai hal yang sangat wajar. Semisal, pada masalah-masalah fiqh (pemikiran), perbedaan dan ragamnya pendapat ternyata bukan persoalan asing. Bahkan, perbedaan pendapat dalam kitab-kitab fiqh menjadi sumber khasanah yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Sedangkan, pada ranah aqidah (keyakinan), prinsip perbedaan dipetakan dengan jelas: Untukmu, agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS al-Kaafiruun [109]: 6).

Perbedaan bukanlah ‘kerusakan’ yang dimaknai penyimpangan. Ia ada, tumbuh, dan berkembang dari pergumulan pikiran dan keyakinan manusia. Membungkam, apalagi hingga menghalalkan kekerasan terhadap individu, kelompok, golongan yang tak ‘seragam’ tentu sangatlah ironis.

Bukankah kita sejak sejak awal, asal, dan penciptaan berbeda-beda. Jadi, untuk apa kita mempersoalkan perbedaan?



*) Tulisan ini pernah dilansir di www.kabarindonesia.com pada 28 Maret 2011

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.