Monday, April 11, 2011

Masih Pentingkah Memperdebatkan Jalan Tuhan


Oleh: Guntur Pribadi *)

SETELAH sukses dengan beberapa film yang disutradarainya, Hanung Bramantyo, kembali merealase film terbarunya: Tanda Tanya (?)Masih Pentingkah Kita Berbeda?, 7 April, lalu. Film tentang potret ke-ragam-an dan keber-agama-an ini, informasinya, diangkat dari kisah nyata kehidupan beragama yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur.

Film ini diawali dengan latar simbol-simbol kehidupan beragama yang ada di negeri ini, seperti tempat ibadah Masjid, Gereja, Kelenteng, serta kehidupan sosial yang ragam budaya dan keyakinan.

Diceritakan, Tan Kat Sun yang diperankan artis Hengky Sulaiman adalah seorang Cina dan pemilik restoran Canton Chineese Food, dengan menjual makanan halal, namun juga masih menjual makanan dari daging Babi. Kendati demikian, Tan Kat Sun memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan. Sebagai penganut Konghucu taat, ia pun masih memberikan kesempatan waktu ibadah kepada karyawan-karyawannya yang muslim seperti Menuk, yang diperankan artis Revalina S Temat.

Selain itu, kita juga bisa saksikan beberapa gambaran kehidupan beragama yang ditampilkan sejumlah artis seperti, Soleh yang diperankan Reza Rahadian yang berperan sebagai seorang Banser yang digambarkan keras, masih memiliki stigma buruk soal perbedaan, namun loyal dalam tugas pengamanan tempat ibadah setiap perayaan hari besar umat Nasrani.

Gambaran lain pun kita temui dari Rika yang diperankan artis Endhita, yang diilustrasikan sebagai seorang yang berpindah agama dan dikucilkan oleh keluarganya. Kemudian ada sosok Surya yang diperankan oleh Agus Kuncoro sebagai pemuda yang kesehariannya tinggal di Masjid dengan pekerjaan tidak tetap —terkadang ia berperan sebagai artis figuran. Dan terkadang juga ia berperan sebagai Yesus dalam pementasan drama di Gereja.

Sedangkan, peran lain ada Ping Hen yang menampilkan artis Rio Dewanto sebagai sosok yang selalu sinis terhadap ajaran Islam. Tak itu saja, sejumlah artis pun ikut mewarnai fim “?” (Tanda Tanya) diantaranya: Baim sebagai Abi, anak dari Rika yang rajin mengaji; Glenn Fredly sebagai Doni, teman Rika di Gereja; David Chalik sebagai ustad; Dedy Soetomo sebagai Romo Gereja Santo Paulus.

Keseluruhan peran beragam itulah, film ini menjadi daya tarik tersendiri. Konflik ‘bathin’ hingga toleransi merupakan tawaran visual yang membuat penonton bebas mengekspresikannya. Saya sendiri, ketika menonton film ini ada apresiasinya, ada juga tidak. Kita sepakat bila kehidupan sosial berbeda agama yang penuh toleransi itu menjadi bagian kehidupan sosial di Indonesia yang harus dipelihara. Dan film ini bermaksud untuk ‘mensosialisasikannya’ lebih luas kepada penonton.

Namun, ada pula beberapa visual, yang membuat saya bertanya-tanya, seperti penampilan kelompok Banser salah satu organisasi terbesar di Indonesia yang ditampilkan sebagai profesi pekerjaan oleh Soleh. Apa tidak salah Banser dianggap sebagai pekerjaan? Setahu saya, Banser itu adalah pengabdian. Bukan pekerjaan. Mungkin itu yang harus dikoreksi film ini, selain ada beberapa kata-kata yang mungkin terlalu diskriminatif terhadap etnis lain.

Dan terlepas dari itu semua, tentunya film ini layak mendapat apresiasi. Kehidupan beragama kita yang belakangan ini rentan dibenturkan sudah seharusnya ‘disegarkan’ kembali dengan semangat toleransi. Perbedaan pendapat dan keyakinan bukan halangan untuk kita hidup berdampingan, saling menghormati, saling melindungi, dan saling menghargai kesakralan masing-masing ibadah.

Ada yang menarik dari film yang skenarionya ditulis oleh Titien Wattimena itu yakni, pembahasan tentang konsepsi Tuhan yang dibuka oleh Romo Gereja Santo Paulus. Rika seorang pemeluk baru Katholik pun memaparkan Tuhan dalam persepsi dan keyakinannya, bahwa Tuhan itu: Ar Rahman (Yang Maha Penyayang), Ar Rahiim (Yang Maha Pengasih), Al Malik (Yang Maha Merajai), Al Quddus (Yang Maha Suci), As Salaam (Yang Maha Memberi Kesejahteraan), Al Mu`min (Yang Maha Memberi Keamanan), Al Muhaimin (Yang Maha Pemelihara), dan seterusnya.

Sikap Romo Gereja yang membacakan pandangan Rika tersebut digambarkan terbuka terhadap konsepsi Tuhan yang diyakininya. Selain itu, kita juga disuguhkan dengan penampilan Surya yang memerankan Yesus dibeberapa acara gereja. Dan Surya sendiri adalah seorang muslim. Sedangkan, yang tak kalah menariknya adalah sikap ustadz yang digambarkan moderat dan tidak melarang Surya tampil sebagai Yesus dalam pementasan di Gereja.

Pikatan film ini sesungguhnya terletak pada penggambaran kesalehan sosial yang terbangun dengan kesadaran. Agama yang menjadi keyakinan masing-masing pemeran tidak membuat terputusnya interaksi sosial sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan. Begitu pula Tuhan yang diimani tidak tersisihkan dengan perbedaan agama yang diyakini.

Film ini, terlepas dari kontroversinya yang tidak begitu mencuat menjadi menarik karena penggambaran kehidupan sosial masing-masing sosok yang mampu menembus perbedaan tanpa meninggalkan religiusitasnya. Perbedaan yang seringkali menjadi pemicu konfik keragaman keyakinan ‘dipangkas’ dalam film ini. Batas-batas pesan ‘langit’ yang selama ini seringkali diterjemahkan tekstual —terkadang dengan kekerasan atas nama agama— oleh sekelompok umat penganut keagamaan menjadi ‘lembut’ dalam visualnya.

Akhir film ini masih menyisakan ‘pencariannya’ dengan melemparkan kalimat tanda tanya: masih pentingkah kita berbeda?
***
Potret mengenai perbedaan keyakinan di negeri ini memang masih tampak buram. Konflik horizontal menyangkut perbedaan pendapat dan keyakinan seringkali menjadi pemicu ditingkat sosial akar rumput. Beberapa kasus perusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok umat tertentu, hingga —lebih ekstrimnya— aksi terror atasnama agama, adalah gambaran kehidupan perbedaan persepsi, konsepsi, dan keyakinan, yang sangat ironi.

Agama sebagai dogma yang diimani seharusnya menjadi refleksi yang ‘membebaskan’ bagi penganutnya dari kemungkaran, kekerasan, dan segala prilaku yang dinilai menodai kesucian agama. Tidak ada ajaran agama di dunia ini yang menyuruh penganutnya untuk merusak, membunuh, apalagi menyakiti sesama manusia.

Keyakinan bukanlah sesuatu yang direkayasa dan dipaksakan. Keyakinan ataupun keimanan adalah ikatan hati yang tumbuh dalam kesadaran pencarian untuk menggambarkan “kebenaran”. Namun bukan berarti mereduksi pesan-pesan agama untuk memaksakan makna dan arti “kebenaran” pada kekerasan, diskriminasi, dan anti toleransi.

Kita pun tahu, agama adalah wilayah hati dan pikiran. Agama diimani karena ajaran dan prinsip-prinsip kebajikannya. Dan sudah sangat tentu, dalam pemaknaannya pun tidaklah sama pada satu persepsi, konsepsi, dan hati. Perbedaan yang seringkali muncul mengatasnamakan agama disebabkan tidak adanya dialog dan komunikasi yang terbuka. Stigma, kecurigaan, dan penafsiran-penafsiran pesan agama yang tertutup dan tidak humanis seringkali membuat ajaran agama ‘melayang-layang diawan’ tanpa bisa memberikan pencerahan dan perubahan.

Tanda Tanya (“?”) dalam film Hanung, bisa jadi, sebagai harapan dibalik gambaran ke-ragam-an dan keber-agama-an pada tataran sosial yang merindukan toleransi, anti kekerasan, dan kedamaian. Wallau’alam bishshawab. []

Sumber grafis: http://widy21.files.wordpress.com/2009/12/munajat1.jpg
*) Tulisan pernah penulis lansir di www.kompasiana.com dengan judul "Berbeda Jalan, Satu Tujuan" (http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/04/11/berbeda-jalan-satu-tujuan/) 

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.