![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHGAv-GVhodlwv5q-BmnOOJAEwydoG_tv7o2QzhyphenhyphenAieEkryQ4dhB3zAFLQoE1kD-n3Bql176OYUIKavYKah5aeb-BLApHsf37odSOMlYkQ3v9kCMA2ZcFqPYph7_48oGUIpEBQ/s200/munajat1.jpg)
Oleh: Guntur Pribadi *)
SETELAH
sukses dengan beberapa film yang disutradarainya, Hanung Bramantyo, kembali
merealase film terbarunya: Tanda Tanya (?): Masih
Pentingkah Kita Berbeda?, 7 April, lalu. Film tentang potret ke-ragam-an
dan keber-agama-an ini, informasinya, diangkat dari kisah nyata kehidupan
beragama yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur.
Film
ini diawali dengan latar simbol-simbol kehidupan beragama yang ada di negeri
ini, seperti tempat ibadah Masjid, Gereja, Kelenteng, serta kehidupan sosial
yang ragam budaya dan keyakinan.
Diceritakan,
Tan Kat Sun yang diperankan artis Hengky Sulaiman adalah seorang Cina dan
pemilik restoran Canton Chineese Food, dengan menjual makanan halal, namun juga
masih menjual makanan dari daging Babi. Kendati demikian, Tan Kat Sun memiliki
toleransi tinggi terhadap perbedaan. Sebagai penganut Konghucu taat, ia pun
masih memberikan kesempatan waktu ibadah kepada karyawan-karyawannya yang
muslim seperti Menuk, yang diperankan artis Revalina S Temat.
Selain
itu, kita juga bisa saksikan beberapa gambaran kehidupan beragama yang
ditampilkan sejumlah artis seperti, Soleh yang diperankan Reza Rahadian yang
berperan sebagai seorang Banser yang digambarkan keras, masih memiliki stigma
buruk soal perbedaan, namun loyal dalam tugas pengamanan tempat ibadah setiap
perayaan hari besar umat Nasrani.
Gambaran
lain pun kita temui dari Rika yang diperankan artis Endhita, yang
diilustrasikan sebagai seorang yang berpindah agama dan dikucilkan oleh
keluarganya. Kemudian ada sosok Surya yang diperankan oleh Agus Kuncoro sebagai
pemuda yang kesehariannya tinggal di Masjid dengan pekerjaan tidak tetap
—terkadang ia berperan sebagai artis figuran. Dan terkadang juga ia berperan sebagai
Yesus dalam pementasan drama di Gereja.
Sedangkan,
peran lain ada Ping Hen yang menampilkan artis Rio Dewanto sebagai sosok yang
selalu sinis terhadap ajaran Islam. Tak itu saja, sejumlah artis pun ikut
mewarnai fim “?” (Tanda Tanya) diantaranya: Baim sebagai Abi, anak dari Rika
yang rajin mengaji; Glenn Fredly sebagai Doni, teman Rika di Gereja; David
Chalik sebagai ustad; Dedy Soetomo sebagai Romo Gereja Santo Paulus.
Keseluruhan
peran beragam itulah, film ini menjadi daya tarik tersendiri. Konflik ‘bathin’
hingga toleransi merupakan tawaran visual yang membuat penonton bebas
mengekspresikannya. Saya sendiri, ketika menonton film ini ada apresiasinya,
ada juga tidak. Kita sepakat bila kehidupan sosial berbeda agama yang penuh
toleransi itu menjadi bagian kehidupan sosial di Indonesia yang harus
dipelihara. Dan film ini bermaksud untuk ‘mensosialisasikannya’ lebih luas
kepada penonton.
Namun,
ada pula beberapa visual, yang membuat saya bertanya-tanya, seperti penampilan
kelompok Banser salah satu organisasi terbesar di Indonesia yang ditampilkan
sebagai profesi pekerjaan oleh Soleh. Apa tidak salah Banser dianggap sebagai
pekerjaan? Setahu saya, Banser itu adalah pengabdian. Bukan pekerjaan. Mungkin
itu yang harus dikoreksi film ini, selain ada beberapa kata-kata yang mungkin
terlalu diskriminatif terhadap etnis lain.
Dan
terlepas dari itu semua, tentunya film ini layak mendapat apresiasi. Kehidupan
beragama kita yang belakangan ini rentan dibenturkan sudah seharusnya
‘disegarkan’ kembali dengan semangat toleransi. Perbedaan pendapat dan
keyakinan bukan halangan untuk kita hidup berdampingan, saling menghormati,
saling melindungi, dan saling menghargai kesakralan masing-masing ibadah.
Ada
yang menarik dari film yang skenarionya ditulis oleh Titien Wattimena itu
yakni, pembahasan tentang konsepsi Tuhan yang dibuka oleh Romo Gereja Santo
Paulus. Rika seorang pemeluk baru Katholik pun memaparkan Tuhan dalam persepsi
dan keyakinannya, bahwa Tuhan itu: Ar Rahman (Yang
Maha Penyayang), Ar Rahiim (Yang
Maha Pengasih), Al Malik (Yang
Maha Merajai), Al Quddus (Yang
Maha Suci), As Salaam (Yang
Maha Memberi Kesejahteraan), Al Mu`min (Yang Maha Memberi
Keamanan), Al Muhaimin (Yang
Maha Pemelihara), dan seterusnya.
Sikap
Romo Gereja yang membacakan pandangan Rika tersebut digambarkan terbuka
terhadap konsepsi Tuhan yang diyakininya. Selain itu, kita juga disuguhkan
dengan penampilan Surya yang memerankan Yesus dibeberapa acara gereja. Dan
Surya sendiri adalah seorang muslim. Sedangkan, yang tak kalah menariknya
adalah sikap ustadz yang digambarkan moderat dan tidak melarang Surya tampil
sebagai Yesus dalam pementasan di Gereja.
Pikatan
film ini sesungguhnya terletak pada penggambaran kesalehan sosial yang
terbangun dengan kesadaran. Agama yang menjadi keyakinan masing-masing pemeran
tidak membuat terputusnya interaksi sosial sebagai manusia yang sama dihadapan
Tuhan. Begitu pula Tuhan yang diimani tidak tersisihkan dengan perbedaan agama
yang diyakini.
Film
ini, terlepas dari kontroversinya yang tidak begitu mencuat menjadi menarik
karena penggambaran kehidupan sosial masing-masing sosok yang mampu menembus
perbedaan tanpa meninggalkan religiusitasnya. Perbedaan yang seringkali menjadi
pemicu konfik keragaman keyakinan ‘dipangkas’ dalam film ini. Batas-batas pesan
‘langit’ yang selama ini seringkali diterjemahkan tekstual —terkadang dengan
kekerasan atas nama agama— oleh sekelompok umat penganut keagamaan menjadi
‘lembut’ dalam visualnya.
Akhir
film ini masih menyisakan ‘pencariannya’ dengan melemparkan kalimat tanda
tanya: masih pentingkah kita berbeda?
***
Potret
mengenai perbedaan keyakinan di negeri ini memang masih tampak buram. Konflik
horizontal menyangkut perbedaan pendapat dan keyakinan seringkali menjadi
pemicu ditingkat sosial akar rumput. Beberapa kasus perusakan tempat ibadah,
penyerangan kelompok umat tertentu, hingga —lebih ekstrimnya— aksi terror
atasnama agama, adalah gambaran kehidupan perbedaan persepsi, konsepsi, dan
keyakinan, yang sangat ironi.
Agama
sebagai dogma yang diimani seharusnya menjadi refleksi yang ‘membebaskan’ bagi
penganutnya dari kemungkaran, kekerasan, dan segala prilaku yang dinilai
menodai kesucian agama. Tidak ada ajaran agama di dunia ini yang menyuruh
penganutnya untuk merusak, membunuh, apalagi menyakiti sesama manusia.
Keyakinan
bukanlah sesuatu yang direkayasa dan dipaksakan. Keyakinan ataupun keimanan
adalah ikatan hati yang tumbuh dalam kesadaran pencarian untuk menggambarkan
“kebenaran”. Namun bukan berarti mereduksi pesan-pesan agama untuk memaksakan
makna dan arti “kebenaran” pada kekerasan, diskriminasi, dan anti toleransi.
Kita
pun tahu, agama adalah wilayah hati dan pikiran. Agama diimani karena ajaran
dan prinsip-prinsip kebajikannya. Dan sudah sangat tentu, dalam pemaknaannya
pun tidaklah sama pada satu persepsi, konsepsi, dan hati. Perbedaan yang seringkali
muncul mengatasnamakan agama disebabkan tidak adanya dialog dan komunikasi yang
terbuka. Stigma, kecurigaan, dan penafsiran-penafsiran pesan agama yang
tertutup dan tidak humanis seringkali membuat ajaran agama ‘melayang-layang
diawan’ tanpa bisa memberikan pencerahan dan perubahan.
Tanda
Tanya (“?”) dalam film Hanung, bisa jadi, sebagai harapan dibalik gambaran ke-ragam-an
dan keber-agama-an pada tataran sosial yang merindukan toleransi, anti
kekerasan, dan kedamaian. Wallau’alam bishshawab. []
Sumber grafis:
http://widy21.files.wordpress.com/2009/12/munajat1.jpg
*) Tulisan pernah
penulis lansir di www.kompasiana.com dengan judul "Berbeda Jalan,
Satu Tujuan" (http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/04/11/berbeda-jalan-satu-tujuan/)
No comments:
Post a Comment