Tuesday, July 03, 2018

NU, Politik, dan Kemaslahatan Bangsa

Oleh: Guntur Pribadi

Tampilnya beberapa tokoh Nahdatul Ulama (NU) di pentas demokrasi pemilihan kepala daerah, seperti tampak di banyak pemberitaan belakangan ini, tentu akan memunculkan kesan NU kembali berpolitik.

Sejak keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984, sikap NU dalam urusan politik tak lagi seperti sebelum-sebelumnya ketika NU masih sebagai partai politik yakni bergumul dalam politik kepartaian dan kekuasaan. 

Keputusan NU tidak lagi berpolitik praktis tentu bukan tanpa alasan. Setidaknya, keputusan tersebut diarahkan agar NU lebih berkonsentrasi pada urusan pemberdayaan umat dan kebangsaan. 

Namun, tak jarang di tahun-tahun politik (seperti saat ini misalnya), keberadaan beberapa tokoh NU seringkali menjadi pusat 'incaran' mesin-mesin partai dalam kepentingannya meraup suara kemenangan di pesta demokrasi, seperti di momen Pilkada, Pilgub, bahkan pada pemilihan pemimpin nasional.

Pertanyaan kemudian, apakah tampilnya tokoh NU dalam pentas politik praktis menjadi pertanda NU masih sulit keluar dari kehidupan politik praktis? 

Tampilnya tokoh berlatarbelakang warga NU pada panggung politik dapat saja memunculkan kesan persepsi bahwa NU masih belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari kehidupan politik praktis. 

Akan tetapi tidak mudah pula membendung daya tarik tokoh NU untuk tidak tampil ataupun tidak ditampilkan di pentas politik seperti pada momen Pilkada maupun Pilgub. Sebab tokoh NU sendiri merupakan individu-individu yang tidak dapat dilepaskan dari bagian masyarakat dan bangsa, sehingga tampilnya tokoh NU boleh jadi dipandang sebagai pilihan di antara banyak pilihan.

Apalagi disadari atau tidak, NU sendiri telah menjadi milik bangsa. Keberadaan NU dipandang penting perannya dalam memberdayakan kehidupan umat, terlebih lagi memperkuat NKRI. Maka tidak mengherankan pada beberapa Nahdliyin yang memiliki ketokohan umat menjadi magnet di momentum-momentum pemilihan kepala daerah maupun gubernur.

Diberikannya panggung politik pada Nahdliyin terutama pasca-Khittah NU memang seringkali menjadi sorotan. Ini tentu saja dikarenakan sejarah ketika NU masih menjadi partai politik energinya lebih banyak terkuras pada urusan-urusan politik praktis, sementara urusan keumatan/kemasyarakatan dikabarkan terbengkalai.

Alasan itulah, kembalinya NU ke Khittah 1926 adalah dalam rangka menjawab persoalan internalnya, terutama dalam bidang kehidupan politik. Selain itu, harapannya tentu saja, Khittah yang diputuskan pada 1984 itu juga setidaknya dapat menjadi 'rambu-rambu' bagi NU secara struktural dan keorganisasian untuk tidak mudah larut dalam godaan-godaan politik praktis. 

Namun demikian, adanya Khittah, bukan berarti warga NU tidak boleh berpolitik. Sesuai dengan butir-butir ketentuan Khittah 1926, hak politik warga NU tetap ada, dan tentunya tidak mengatasnamakan NU dalam berpolitik, apalagi membawa nama NU dalam aktivitas kepartaian. 

Politik Kemaslahatan Bangsa
Khittah NU memiliki makna yang tidak saja membawa organisasi sosial dan keagamanan itu kembali fokus pada urusan-urusan pemberdayaan umat, tetapi juga menjadi peluang bagi NU sendiri untuk lebih leluasa memainkan perannya dalam tujuan-tujuan kemaslahatan yang lebih besar, terutama untuk kepentingan bangsa.

Sikap politik NU dalam kepentingan yang lebih besar adalah sikap politik yang dapat dimaknai mengedepankan kepentingan umum (bangsa) daripada kepentingan pribadi (golongan/kelompok). Sebagai  jam’iyyah dîniyyah ijtimâ’iyyah terbesar di negeri ini, tentu saja NU memikul tanggung jawab yang tidak kecil dalam peran-peran politik kebangsannya. 

Seperti saat ini, di tengah masih maraknya ujaran kebencian dan sebaran paham-paham radikalisme, peran politik kebangsaan NU sangatlah dibutuhkan, terlebih dalam membendung isu-isu intoleransi dan SARA yang rentan memecah belah bangsa.

Prinsip NU dalam menyikapi kepentingan kebangsaan dan kerakyatan adalah diantaranya berlandaskan pada kaidah tashorruful imam ala ra’iyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyat adalah untuk  menciptakan kemaslahatan umat). Bukan berlandaskan pada prinsip nafsu politik kekuasaan yang seringkali jauh dari nilai-nilai moral dan kebutuhan bangsa.

Pada panggung sejarah, dicatat, soal politik kebangsaan NU telah menjadi bagian yang menyatu pada komitmen NU terhadap kecintaannya pada tanah air ini. Sebelum dan sesudah NKRI diproklamirkan, peran NU telah ditunjukan dengan keikutsertaan NU dalam merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya.

Resolusi Jihad yang merupakan klimaks perjuangan politik kebangsaan NU adalah diantara langkah strategis-konkret NU dalam menerapkan politik kemaslahatannya agar Pancasila dan NKRI tetap dapat dipertahankan.

Karena itu, tidak mengherankan di tengah situasi dan kondisi bangsa seperti saat ini dengan masih besarnya gelombang arus ujaran kebencian yang menyebar, demikian pula isu-isu intoleransi dan paham radikalisme yang menjalar terutama di dunia maya, sikap politik kebangsaan NU selalu berada di garis terdepan dalam membendung arus tersebut.

Inilah yang kemudian menegaskan sikap politik NU dalam merespon isu-isu kebangsaan dapat diartikan sebagai sikap politik kemaslahatan bangsa. Artinya, secara organisatoris NU memang tidak terlibat langsung dalam politik praktis perebutan kekuasaan, namun dalam urusan kebangsaan yang lebih luas, langkah NU terutama dalam konteks menangkal arus intoleransi, radikalisme, kekerasan, ujaran kebencian, hingga aksi terorisme, adalah wujud sikap politik kebangsaan NU yang memiliki tujuan lebih luas, yakni untuk kemaslahatan bangsa. (*)

Tulisan penulis ini pernah dimuat di http://www.nu.or.id/post/read/85614/nu-politik-dan-kemaslahatan-bangsa, pada Ahad, 28 Januari 2018

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.