Oleh: Guntur Pribadi
Tampilnya beberapa tokoh Nahdatul Ulama (NU) di
pentas demokrasi pemilihan kepala daerah, seperti tampak di banyak pemberitaan
belakangan ini, tentu akan memunculkan kesan NU kembali berpolitik.
Sejak keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo,
Jawa Timur tahun 1984, sikap NU dalam urusan politik tak lagi seperti
sebelum-sebelumnya ketika NU masih sebagai partai politik yakni bergumul dalam
politik kepartaian dan kekuasaan.
Keputusan NU tidak lagi berpolitik praktis tentu
bukan tanpa alasan. Setidaknya, keputusan tersebut diarahkan agar NU lebih
berkonsentrasi pada urusan pemberdayaan umat dan kebangsaan.
Namun, tak jarang di tahun-tahun politik
(seperti saat ini misalnya), keberadaan beberapa tokoh NU seringkali menjadi
pusat 'incaran' mesin-mesin partai dalam kepentingannya meraup suara kemenangan
di pesta demokrasi, seperti di momen Pilkada, Pilgub, bahkan pada pemilihan
pemimpin nasional.
Pertanyaan kemudian, apakah tampilnya tokoh NU
dalam pentas politik praktis menjadi pertanda NU masih sulit keluar dari
kehidupan politik praktis?
Tampilnya tokoh berlatarbelakang warga NU pada
panggung politik dapat saja memunculkan kesan persepsi bahwa NU masih belum
sepenuhnya dapat melepaskan diri dari kehidupan politik praktis.
Akan tetapi tidak mudah pula membendung daya
tarik tokoh NU untuk tidak tampil ataupun tidak ditampilkan di pentas politik
seperti pada momen Pilkada maupun Pilgub. Sebab tokoh NU sendiri merupakan
individu-individu yang tidak dapat dilepaskan dari bagian masyarakat dan
bangsa, sehingga tampilnya tokoh NU boleh jadi dipandang sebagai pilihan di
antara banyak pilihan.
Apalagi disadari atau tidak, NU sendiri telah
menjadi milik bangsa. Keberadaan NU dipandang penting perannya dalam
memberdayakan kehidupan umat, terlebih lagi memperkuat NKRI. Maka tidak
mengherankan pada beberapa Nahdliyin yang memiliki ketokohan
umat menjadi magnet di momentum-momentum pemilihan kepala daerah maupun
gubernur.
Diberikannya panggung politik pada Nahdliyin terutama
pasca-Khittah NU memang seringkali menjadi sorotan. Ini tentu saja dikarenakan
sejarah ketika NU masih menjadi partai politik energinya lebih banyak terkuras
pada urusan-urusan politik praktis, sementara urusan keumatan/kemasyarakatan
dikabarkan terbengkalai.
Alasan itulah, kembalinya NU ke Khittah 1926
adalah dalam rangka menjawab persoalan internalnya, terutama dalam bidang
kehidupan politik. Selain itu, harapannya tentu saja, Khittah yang diputuskan
pada 1984 itu juga setidaknya dapat menjadi 'rambu-rambu' bagi NU secara
struktural dan keorganisasian untuk tidak mudah larut dalam godaan-godaan
politik praktis.
Namun demikian, adanya Khittah, bukan berarti
warga NU tidak boleh berpolitik. Sesuai dengan butir-butir ketentuan Khittah
1926, hak politik warga NU tetap ada, dan tentunya tidak mengatasnamakan NU
dalam berpolitik, apalagi membawa nama NU dalam aktivitas kepartaian.
Politik Kemaslahatan Bangsa
Khittah NU memiliki makna yang tidak saja
membawa organisasi sosial dan keagamanan itu kembali fokus pada urusan-urusan
pemberdayaan umat, tetapi juga menjadi peluang bagi NU sendiri untuk lebih
leluasa memainkan perannya dalam tujuan-tujuan kemaslahatan yang lebih besar,
terutama untuk kepentingan bangsa.
Sikap politik NU dalam kepentingan yang lebih
besar adalah sikap politik yang dapat dimaknai mengedepankan kepentingan umum
(bangsa) daripada kepentingan pribadi (golongan/kelompok). Sebagai jam’iyyah
dîniyyah ijtimâ’iyyah terbesar di negeri ini, tentu saja NU memikul
tanggung jawab yang tidak kecil dalam peran-peran politik kebangsannya.
Seperti saat ini, di tengah masih maraknya
ujaran kebencian dan sebaran paham-paham radikalisme, peran politik kebangsaan
NU sangatlah dibutuhkan, terlebih dalam membendung isu-isu intoleransi dan SARA
yang rentan memecah belah bangsa.
Prinsip NU dalam menyikapi kepentingan
kebangsaan dan kerakyatan adalah diantaranya berlandaskan pada kaidah tashorruful
imam ala ra’iyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap
rakyat adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat). Bukan berlandaskan
pada prinsip nafsu politik kekuasaan yang seringkali jauh dari nilai-nilai
moral dan kebutuhan bangsa.
Pada panggung sejarah, dicatat, soal politik
kebangsaan NU telah menjadi bagian yang menyatu pada komitmen NU terhadap
kecintaannya pada tanah air ini. Sebelum dan sesudah NKRI diproklamirkan, peran
NU telah ditunjukan dengan keikutsertaan NU dalam merebut kemerdekaan hingga
mempertahankannya.
Resolusi Jihad yang merupakan klimaks perjuangan
politik kebangsaan NU adalah diantara langkah strategis-konkret NU dalam
menerapkan politik kemaslahatannya agar Pancasila dan NKRI tetap dapat
dipertahankan.
Karena itu, tidak mengherankan di tengah situasi
dan kondisi bangsa seperti saat ini dengan masih besarnya gelombang arus ujaran
kebencian yang menyebar, demikian pula isu-isu intoleransi dan paham
radikalisme yang menjalar terutama di dunia maya, sikap politik kebangsaan NU
selalu berada di garis terdepan dalam membendung arus tersebut.
Inilah yang kemudian menegaskan sikap politik NU
dalam merespon isu-isu kebangsaan dapat diartikan sebagai sikap politik
kemaslahatan bangsa. Artinya, secara organisatoris NU memang tidak terlibat
langsung dalam politik praktis perebutan kekuasaan, namun dalam urusan
kebangsaan yang lebih luas, langkah NU terutama dalam konteks menangkal arus
intoleransi, radikalisme, kekerasan, ujaran kebencian, hingga aksi terorisme,
adalah wujud sikap politik kebangsaan NU yang memiliki tujuan lebih luas, yakni
untuk kemaslahatan bangsa. (*)
* Tulisan
penulis ini pernah dimuat di http://www.nu.or.id/post/read/85614/nu-politik-dan-kemaslahatan-bangsa, pada Ahad, 28 Januari 2018