Monday, December 03, 2007

Tujuh Kata Banyak Polemik *)


Oleh: Guntur Pribadi **)

GERAKAN memperjuangkan syariat Islam di negeri ini tidak dapat dilepaskan dari romantisme sejarah Piagam Jakarta sebagai konstitusi dasar negara Indonesia yang pernah mencantumkan kalimat Tujuh Kata :”…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, yang kemudian mengalami “revisi” karena pertimbangan kebangsaan.

Upaya sebagian kelompok untuk memperjuangkan kembali kalimat “sakral” tersebut dalam preambule UUD 1945, beberapa tahun lalu, pernah pula diusulkan sebagian fraksi MPR RI masa reformasi, yang kemudian menghangat dalam perdebatan publik.

Sebenarnya usaha mencantumkan kembali Tujuh Kata dalam mukadimah UUD 1945 adalah hal yang lumrah sebagai konsekuensi demokrasi.

Dalam ranah demokrasi, tuntutan, aspirasi, hak berpikir, berbicara, dan kebebasan menafsirkan serta memperjuangkan ideologi kelompok adalah perihal, yang memiliki ruang untuk dilindungi ekspresinya sebagai “hukum alam” demokrasi itu sendiri. Artinya, dalam pengembangan demokratisasi di negeri ini, perbedaan dan cara pandang ideologi bukanlah sesuatu yang diharamkan.

Demikian halnya tuntutan sebagian kelompok umat Islam yang menghendaki penerapan syariat Islam secara formal dalam konstitusi, itu sebagai hal yang “halal”. Termasuk ketika terjadi perbedaan cara pandang para pendiri bangsa ini, ketika merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian menimbulkan polemik panjang hingga hari ini lantaran peristiwa “pencoretan” kalimat syariat Islam dalam konstitusi tersebut.

Peristiwa “pencoretan” Tujuh Kata dalam mukadimah UUD 1945 itu dilakukan, pada prinsipnya, berangkat pada kesadaran ijitihad para founding fathers negara ini seperti: Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Tengku Hasan, yang oleh Bung Hatta sendiri, dikatakan, sebagai upaya untuk menyatukan bangsa.

Namun yang jadi pertanyaan kemudian apakah dengan dihapusnya Tujuh Kata itu, umat Islam kemudian mengalami peminggiran ideologi dan kehilangan legitimasi yuridis untuk menjalankan hukum Islam di Indonesia?

Persoalan ini memang tampak merugikan umat Islam. Apalagi ketika mengamati benturan aspirasi yang terjadi sepanjang sejarah pro dan kontra syariat Islam di negeri ini, perjuangan sebagian kelompok Islam politik kerapkali mengalami peminggiran secara politis. Pengalaman sejarah ini tentu saja bukan harga perjuangan ideologi yang murah. Sebagian umat Islam pro syariat bahkan hingga hari ini tetap ingin membayar dengan cost yang mahal perjuangan ideologi itu.

Ketaatan Agama dan Syariat
Ketaatan kepada agama adalah kebebasan individu (freedom of individual). Artinya, institusi eksternal seperti negara dapat dikatakan tidak memiliki otoritas penentu dalam membentuk keyakinan seseorang terhadap agama. Dan demikian halnya, dengan pelaksanaan syariat yang diatur oleh negara, bahkan cendrung melahirkan kataatan semu.

Tokoh muda NU, Masdar Farid Masudi pernah mengatakan, ada tiga hal yang patut dipertimbangkan ketika aspirasi agar syariat Islam kembali dimasukan dalam pembukaan UUD 1945. Pertama, pencantuman itu akan membuka kemungkinan campur tangan negara (state interference) dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudaratan bagi agama mupun negara sebagai wilayah publik.

Kedua, lanjut Masdar, dimasukannya Tujuh Kata akan mengakibatkan prasangka-prasangka lama kalangan di luar Islam mengenai Negara Islam Indonesia (NII). Ketiga, dimasukannya kembali Tujuh Kata dalam pembukaan UUD 1945, kata Masdar, jelas bertentangan dengan sistem negara nasional yang memperlakukan semua kelompok termasuk kelompok agama di negeri ini secara sederajat.

Syariat Islam bukanlah tafsir mati (dead interpretation) yang tekstual, akan tetapi kontekstual dengan zaman. Karena itu, syariat Islam dapat berubah sesuai dengan perkembangan.

Katakanlah soal hukum rajam dan potong tangan, misalnya. Dalam Islam, dua praktik hukuman tersebut masih debatable. Apakah hukum potong tangan (cut hand) yang dimaksud secara fisik atau analogi?

Dan demikian halnya dengan praktik hukum rajam. Apa sebenarnya perbedaan hukum rajam dengan hukuman mati? Bukankah keduanya sama-sama hukuman menghilangkan nyawa seseorang yang melawan hukum.

Perlukah Formalisme Syariat?
Jika diamati pasang surut tuntutan penerapan syariat Islam di Indonesia, akan tampak terlihat dua pertimbangan kelompok berkepentingan yang menghendaki berdirinya negara dengan landasan syariat Islam. Pertama, sebagai seorang muslim, mereka terikat pada syariat. Kedua, krisis yang berkepanjangan disegala bidang di negeri ini, diyakini oleh sebagian kelompok Islam sebagai konsekuensi tidak terikatnya umat Islam di negeri ini pada hukum syara.

Bahkan tidak itu saja, bagi sebagian kelompok pendukung syariat Islam, formalitas Tujuh Kata dalam konstitusi adalah sebagai cita-cita ideal (ideal aspiration) yang wajib dicantumkan dalam UUD 1945 dan diterapkan dalam bentuk produk hukum nasional (national law).

Terlepas dari pelbagai polemik yang hingga kini masih diperdebatkan, muncul pertanyaan yang juga harus menjadi bahan pertimbangan oleh dua kelompok pro kontra syariat Islam.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan formalitas syariat Islam segala persoalan yang dihadapi bangsa ini dapat dengan pasti terjawab? Tentu jawabannya adalah, bukan memperdebatkan soal formalitas syariat Islam. Tetapi yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah realitas bangsa ini.

Bangsa ini sangat plural dalam pelbagai karakternya, sehingga sangat tidak bijak bila persoalan “meributkan” Tujuh Kata menjadikan bangsa ini, khususnya umat Islam menjadi picik dalam melihat simbolisme agama, yang kadangkala cendrung melahirkan pemikiran dan keyakinan beragama yang kaku dan tidak toleran.

Bukankah, kata seorang ulama kharismatik KH Idham Khalid “….lebih baik minyak samin cap babi, daripada minyak babi cap onta”. Artinya, penerapan atau pengamalan syariat di negeri ini tidaklah harus membuat umat terjebak pada formalisme dan simbolisme Islam yang acapkali masih memunculkan multitafsir dan cendrung kontraproduktif dalam aplikasinya.


Dan dalam konteks ini, yang penting dalam pengamalan hukum Islam secara substansial dan juga tanpa menafikan law formalism, prinsip-prinsip Islam bisa diakomodasi dalam sistem hukum negara dan adat, serta diterima masyarakat sebagai tata hukum yang dibutuhkan, tanpa harus meributkan lagi label Islam dalam konstitusi. []
-----------------------------------------------------------------
*) Tulisan ini merupakan penyikapan penulis terhadap polemik Piagam Jakarta yang diawal era reformasi sempat menjadi perdebatan hangat oleh sebagian kelompok Islam, tokoh, politisi, pengamat, aktivis mahasiswa, hingga kelompok “pengajian” lintas agama. Dan tulisan ini sebagian pernah diterbitkan oleh Majalah Mahasiswa Arrisalah Surabaya, Edisi XXXVIII/TH.XIV/2002 (Majalah Mahasiswa Terbaik Nasional yang sempat dibredel rezim Orde Baru karena perlawanan jurnalismenya terhadap kebijakan publik Soeharto).

**) Jurnalis dan Peminat Masalah Islam, Demokrasi, dan Media Massa. Email: gu2n_kutai@yahoo.com

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.