Oleh: Guntur Pribadi **)
GERAKAN
memperjuangkan syariat Islam di negeri ini tidak dapat dilepaskan dari
romantisme sejarah Piagam Jakarta sebagai konstitusi dasar negara Indonesia
yang pernah mencantumkan kalimat Tujuh Kata :”…dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluknya”, yang kemudian mengalami “revisi” karena
pertimbangan kebangsaan.
Upaya
sebagian kelompok untuk memperjuangkan kembali kalimat “sakral” tersebut dalam
preambule UUD 1945, beberapa tahun lalu, pernah pula diusulkan sebagian fraksi
MPR RI masa reformasi, yang kemudian menghangat dalam perdebatan publik.
Sebenarnya
usaha mencantumkan kembali Tujuh Kata dalam mukadimah UUD 1945 adalah hal yang
lumrah sebagai konsekuensi demokrasi.
Dalam ranah
demokrasi, tuntutan, aspirasi, hak berpikir, berbicara, dan kebebasan
menafsirkan serta memperjuangkan ideologi kelompok adalah perihal, yang
memiliki ruang untuk dilindungi ekspresinya sebagai “hukum alam” demokrasi itu
sendiri. Artinya, dalam pengembangan demokratisasi di negeri ini, perbedaan dan
cara pandang ideologi bukanlah sesuatu yang diharamkan.
Demikian
halnya tuntutan sebagian kelompok umat Islam yang menghendaki penerapan syariat
Islam secara formal dalam konstitusi, itu sebagai hal yang “halal”. Termasuk
ketika terjadi perbedaan cara pandang para pendiri bangsa ini, ketika
merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian menimbulkan polemik panjang hingga hari
ini lantaran peristiwa “pencoretan” kalimat syariat Islam dalam konstitusi
tersebut.
Peristiwa
“pencoretan” Tujuh Kata dalam mukadimah UUD 1945 itu dilakukan, pada
prinsipnya, berangkat pada kesadaran ijitihad para founding fathers negara ini
seperti: Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman
Singodimedjo dan Mr. Tengku Hasan, yang oleh Bung Hatta sendiri, dikatakan,
sebagai upaya untuk menyatukan bangsa.
Namun yang
jadi pertanyaan kemudian apakah dengan dihapusnya Tujuh Kata itu, umat Islam
kemudian mengalami peminggiran ideologi dan kehilangan legitimasi yuridis untuk
menjalankan hukum Islam di Indonesia?
Persoalan
ini memang tampak merugikan umat Islam. Apalagi ketika mengamati benturan
aspirasi yang terjadi sepanjang sejarah pro dan kontra syariat Islam di negeri
ini, perjuangan sebagian kelompok Islam politik kerapkali mengalami peminggiran
secara politis. Pengalaman sejarah ini tentu saja bukan harga perjuangan
ideologi yang murah. Sebagian umat Islam pro syariat bahkan hingga hari ini
tetap ingin membayar dengan cost yang mahal perjuangan ideologi itu.
Ketaatan
Agama dan Syariat
Ketaatan
kepada agama adalah kebebasan individu (freedom of individual). Artinya,
institusi eksternal seperti negara dapat dikatakan tidak memiliki otoritas
penentu dalam membentuk keyakinan seseorang terhadap agama. Dan demikian
halnya, dengan pelaksanaan syariat yang diatur oleh negara, bahkan cendrung
melahirkan kataatan semu.
Tokoh muda
NU, Masdar Farid Masudi pernah mengatakan, ada tiga hal yang patut
dipertimbangkan ketika aspirasi agar syariat Islam kembali dimasukan dalam
pembukaan UUD 1945. Pertama, pencantuman itu akan membuka kemungkinan campur
tangan negara (state interference) dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan
kemudaratan bagi agama mupun negara sebagai wilayah publik.
Kedua,
lanjut Masdar, dimasukannya Tujuh Kata akan mengakibatkan prasangka-prasangka
lama kalangan di luar Islam mengenai Negara Islam Indonesia (NII). Ketiga,
dimasukannya kembali Tujuh Kata dalam pembukaan UUD 1945, kata Masdar, jelas
bertentangan dengan sistem negara nasional yang memperlakukan semua kelompok
termasuk kelompok agama di negeri ini secara sederajat.
Syariat
Islam bukanlah tafsir mati (dead interpretation) yang tekstual, akan tetapi
kontekstual dengan zaman. Karena itu, syariat Islam dapat berubah sesuai dengan
perkembangan.
Katakanlah
soal hukum rajam dan potong tangan, misalnya. Dalam Islam, dua praktik hukuman
tersebut masih debatable. Apakah hukum potong tangan (cut hand) yang dimaksud
secara fisik atau analogi?
Dan demikian
halnya dengan praktik hukum rajam. Apa sebenarnya perbedaan hukum rajam dengan
hukuman mati? Bukankah keduanya sama-sama hukuman menghilangkan nyawa seseorang
yang melawan hukum.
Perlukah
Formalisme Syariat?
Jika diamati
pasang surut tuntutan penerapan syariat Islam di Indonesia, akan tampak
terlihat dua pertimbangan kelompok berkepentingan yang menghendaki berdirinya
negara dengan landasan syariat Islam. Pertama, sebagai seorang muslim, mereka
terikat pada syariat. Kedua, krisis yang berkepanjangan disegala bidang di
negeri ini, diyakini oleh sebagian kelompok Islam sebagai konsekuensi tidak
terikatnya umat Islam di negeri ini pada hukum syara.
Bahkan tidak
itu saja, bagi sebagian kelompok pendukung syariat Islam, formalitas Tujuh Kata
dalam konstitusi adalah sebagai cita-cita ideal (ideal aspiration) yang wajib
dicantumkan dalam UUD 1945 dan diterapkan dalam bentuk produk hukum nasional
(national law).
Terlepas
dari pelbagai polemik yang hingga kini masih diperdebatkan, muncul pertanyaan
yang juga harus menjadi bahan pertimbangan oleh dua kelompok pro kontra syariat
Islam.
Pertanyaannya
adalah, apakah dengan formalitas syariat Islam segala persoalan yang dihadapi
bangsa ini dapat dengan pasti terjawab? Tentu jawabannya adalah, bukan
memperdebatkan soal formalitas syariat Islam. Tetapi yang tak kalah penting
untuk dipikirkan adalah realitas bangsa ini.
Bangsa ini
sangat plural dalam pelbagai karakternya, sehingga sangat tidak bijak bila
persoalan “meributkan” Tujuh Kata menjadikan bangsa ini, khususnya umat Islam
menjadi picik dalam melihat simbolisme agama, yang kadangkala cendrung
melahirkan pemikiran dan keyakinan beragama yang kaku dan tidak toleran.
Bukankah,
kata seorang ulama kharismatik KH Idham Khalid “….lebih baik minyak samin cap
babi, daripada minyak babi cap onta”. Artinya, penerapan atau pengamalan
syariat di negeri ini tidaklah harus membuat umat terjebak pada formalisme dan
simbolisme Islam yang acapkali masih memunculkan multitafsir dan cendrung
kontraproduktif dalam aplikasinya.
Dan dalam
konteks ini, yang penting dalam pengamalan hukum Islam secara substansial dan
juga tanpa menafikan law formalism, prinsip-prinsip Islam bisa diakomodasi
dalam sistem hukum negara dan adat, serta diterima masyarakat sebagai tata
hukum yang dibutuhkan, tanpa harus meributkan lagi label Islam dalam
konstitusi. []
-----------------------------------------------------------------*) Tulisan ini merupakan penyikapan penulis terhadap polemik Piagam Jakarta yang diawal era reformasi sempat menjadi perdebatan hangat oleh sebagian kelompok Islam, tokoh, politisi, pengamat, aktivis mahasiswa, hingga kelompok “pengajian” lintas agama. Dan tulisan ini sebagian pernah diterbitkan oleh Majalah Mahasiswa Arrisalah Surabaya, Edisi XXXVIII/TH.XIV/2002 (Majalah Mahasiswa Terbaik Nasional yang sempat dibredel rezim Orde Baru karena perlawanan jurnalismenya terhadap kebijakan publik Soeharto).
**) Jurnalis dan Peminat Masalah Islam, Demokrasi, dan Media Massa. Email: gu2n_kutai@yahoo.com
No comments:
Post a Comment