Oleh:
Guntur Pribadi
SIAPAPUN
pasti mengenal sosok dan cerita “akal-akalan” Abu Nawas, paling tidak namanya.
Abu Nawas dikenal cerdik dalam beragam hikayatnya. Sangking cerdasnya, Abu
Nawas seringkali luput dari hukuman sang raja. Ia sosok manusia yang pandai
berargumen. Hampir disetiap ceritanya, Abu Nawas digambarkan sebagai orang yang
multi peran.
Sebagai
contoh, seperti disebutkan dalam salah satu ceritanya, ketika Raja Harun Al
Rasyid memintanya untuk menangkap angin dan memasukannya kedalam botol, Abu
Nawas dengan berbagai caranya mampu melakukan apa yang diminta raja. Meskipun
dengan “akal-akalan”, angin yang diminta raja pun diberikannya.
Begitu
terkejutnya raja ketika tahu isi angin yang dipersembahkan Abu Nawas dalam
botol itu bercampur bau busuk. Raja pun bertanya kepada Abu Nawas. “Mengapa bau
angin seperti ini, busuk sekali?,” tanya raja.
Dengan alasannya, Abu Nawas menjawab,”Itu bau kentut saya yang tercampur
bersama angin, baginda. Sebab, jika tak dimasukan baunya ke dalam botol, saya
khawatir angin yang saya tangkap akan lepas”.
Mendengar
jawaban Abu Nawas, sang raja pun hanya tersenyum dan mengerti bahwa Abu Nawas
memang sosok yang pandai menyikapi dan mencari jalan keluar dari
masalah yang terkadang sukar dihadapi. Ditengah argumennya itu, raja pun
seringkali tak bisa meluapkan amarahnya. Sekalipun perilaku Abu
Nawas acapkali dinilai berlebihan “mempermainkan” raja.
Gaya
dan cara Abu Nawas menghadapi amarah raja, seringkali juga dinilai sebagai
akal-akalan. Dan karena perilakunya yang kerapkali nyeleneh, seperti disebutkan
dalam banyak ceritanya, Abu Nawas pun sering dicap orang yang tidak waras.
Namun, bukanlah Abu Nawas bila tak mampu menjawab sendiri keanehannya yang
disoroti masyarakat.
Akrobatik
Abu Nawas dihadapan penguasa bukanlah satu atau dua kali. Ia bahkan seringkali
mengkritisi kebijakan sang raja dengan leluconnya yang bila dinilai tak pantas
untuk dilakukan. Sebagai contoh, kisah Abu Nawas ketika mendapat tugas sebagai
pemungut pajak. Ketika semua pegawai pemungut pajak diperintahkan untuk memakan
kertas laporan pungutan pajak yang tidak maksimal, Abu Nawas dengan mudah
membuat raja tak dapat bicara. Pasalnya, ketika pegawai lainnya disuruh makan
catatan kertas, Abu Nawas malah makan roti dihadapan raja.
Raja
pun sekali lagi terkejut melihat Abu Nawas makan roti. Lalu raja bertanya
kepada Abu Nawas. “Mengapa kau makan roti dihadapanku. Bukannya aku menyuruhmu
melaporkan hasil pungutan pajak?,” ujar raja.
Mendengar
pertanyaan raja, dengan enteng Abu Nawas menjawab, “Catatannya sudah saya
makan, baginda. Sebab, saya menulis catatan pajaknya disepotong roti. Daripada
raja marah-marah suruh saya makan catatannya, lebih baik saya makan duluan
rotinya”.
Menyimak
jawaban Abu Nawas tersebut, raja pun hanya diam seribu bahasa. Ia sepertinya
kalah ucap. Argumen Abu Nawas membuat raja makin maklum dengan tingkahnya yang
kerapkali membuat wibawa raja menjadi setara dan seperti pegawai yang tak lebih
sama dengan posisi Abu Nawas.
Kendati
pernah bekerja sebagai ‘abdidalem’ istana, Abu Nawas tetap saja seorang
kritikus dihadapan pemerintah. Ia sosok yang tak mudah dibeli istana.
Sindiran-sindiran politiknya terhadap penguasa lewat perilaku nyelenehnya pun,
hampir disemua ceritanya, adalah bagian kesadaran politiknya sebagai sipil
untuk membela hak-hak masyarakat.
Terlepas
ada sebagaian pendapat yang menilai cerita Abu Nawas hanyalah fiktif, namun
ilustrasi cerita botol berisi kentut dan catatan pajak pada sepotong roti adalah
merupakan gaya kritik Abu Nawas terhadap sang raja yang dinilainya kurang
memperhatikan kehidupan dan keadilan di masyarakat. []
No comments:
Post a Comment