Saturday, January 24, 2009

Kaltim, Banjir dan Kearifan Ekologi

Oleh: Guntur Pribadi *)
LUAPAN sungai Mahakam hingga kini masih terjadi dibeberapa wilayah pedalaman hulu Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Beberapa kecamatan dan desa dengan topografi yang rendah di kabupaten tersebut tampak digenangi banjir. Misalnya, Kecamatan Kota Bangun, terutama dataran rendah, luapan banjir telah merendamkan puluhan bahkan ratusan rumah penduduk tenggelam.

Sebenarnya tidak hanya Kecamatan Kota Bangun yang terkena luapan banjir. Beberapa kecamatan di kabupaten yang terkenal kaya dengan sumber daya alamnya seperti, tambang batubara, migas, dan hutan ini, juga mendapat “kiriman” luapan sungai Mahakam. Seperti diantaranya kecamatan: Sebulu, Muara Kaman, Kenohan, Muara Muntai, Kembang Janggut, Tabang, dan beberapa kecamatan lainnya, termasuk pinggiran Kecamatan Tenggarong.

Banjir yang terjadi hingga tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Ketinggian air bahkan tampak telah mencapai separuh bangunan rumah masyarakat. Terkadang warga harus mengungsi ke dataran lebih tinggi untuk menghindari genangan banjir. Namun tidak sedikit pula warga yang tetap bertahan di tempat tinggalnya masing-masing dengan menempati atap atau loteng rumah.

Banjir akibat luapan sungai Mahakam sebenarnya bagi masyarakat hulu, bencana yang tidak asing lagi. Hanya saja, tidak semua wilayah hulu Mahakam yang terkena dampak kerusakan lingkungan itu. Ada beberapa wilayah desa di kecamatan yang memang telah lama menjadi langganan banjir seperti, Desa Danau Semayang, Danau Jempang, Danau Melintang, dan beberapa desa lainnya yang berada di dataran rendah hulu pinggiran sungai Mahakam.

Hukum Alam
Kendati memang ada sebagian desa di Kukar yang rawan banjir. Bukan berarti sebaran air bah sungai Mahakam tidak dapat meluas ke desa ataupun kecamatan yang ada di daerah ini. Luapan banjir juga tidak terjadi dengan sendirinya tanpa ada akibat.

Sudah menjadi hukum alam, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam secara serampangan dan tidak mengindahkan keseimbangan ekosistem, sangat berdampak pada kehidupan manusia. Demikian halnya banjir. Bencana alam tersebut tidak muncul tanpa ada ketidakseimbangan antara manusia dengan alam.

Dampak kerusakan alam di wilayah hulu Mahakam Kaltim, termasuk Kabupaten Kukar sudah sangat memperihatinkan. Masih adanya para pelaku penebang hutan secara liar dan eksploitasi alam secara serampangan dan ilegal, telah membuat daerah ini mengalami krisis ekologi. Kenyataan ini terlihat dengan bencana banjir yang setiap tahunnya menenggelamkan ratusan bahkan ribuan rumah masyarakat di hulu Mahakam.

Ditengah percepatan pembangunan wilayah-wilayah tertinggal hulu Mahakam, pencegahan bencana banjir memang harus segera dicarikan jalan keluar. Apalagi ditambah dengan munculnya ancaman pemanasan global (global warming), yang belakangan ini telah menjadi perhatian dunia akibat efek rumah kaca dan pembuangan asap limbah pabrik yang tak terkendali, sangat berdampak pada mencairnya gunung es belahan bumi kutub.

Seperti dilansir dalam www.wikipedia.org, temperatur rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 + 0.18º C (1.33 + 0.32º F) selama seratus tahun terakhir ini. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan, sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Kesimpulan dasar tersebut telah dikemukakan, setidaknya oleh 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Menurut informasi, meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan alam seperti diantaranya naiknya volume air laut, meningkatnya intansitas kejadian cuaca yang ekstrim, terpengaruhnya hasil pertanian, punahnya bebagai jenis hewan, dan lain sebagainya.

Kearifan Ekologi
Menyikapi krisis ekologi yang terjadi di negeri ini, termasuk di Kaltim, pemerintah ataupun stakeholders hendaknya dapat lebih tegas dan arif mengambil kebijakan yang pro lingkungan dan hutan.

Bukan tidak mungkin. Kerusakan alam di negeri ini akan menjadi ancaman terbesar dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Kekayaan hutan termasuk didalamnya, adalah milik negara dan dikelola bersama untuk hajat hidup rakyat. Namun bila pengelolaanya dilakukan tanpa memperhatikan keseimbangan alam, bukan tidak mungkin pula akan menjadi bencana bagi kehidupan manusia.

Sikap tegas pemerintah, diharapkan, bukan hanya sekadar membabat habis pelaku perusak alam. Tapi terlebih itu, mendorong kesadaran bangsa untuk peduli lingkungan dan hutan sangat urgen. Kerusakan hutan tidak saja diakibatkan dampak krisis ekonomi. Tetapi masih minimnya kesadaran memelihara keseimbangan ekologi, setidaknya telah menimbulkan bencana alam di negeri ini.

Dari sinilah, sebenarnya, sikap dan kepedulian semua elemen juga diperlukan. Menumbuhkan kesadaran bangsa terhadap krisis ekologi saat ini memang sangat mendasak. Dan siapa pun kita, menjaga dan memperhatikan keseimbangan ekosistem, termasuk didalamnya kekayaan hutan, sama halnya menyelamatkan masa depan negeri ini dari ancaman bencana ekologi. Tentunya kita tidak ingin Indonesia tenggelam dalam kubangan banjir.

*) Penulis adalah Komunitas Merah Putih dan Citizen Journalist
(Tulisan opini ini pernah dilansir www.kabarindonesia.com pada 22 Januari 2009)

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.