Saturday, August 18, 2007

Catatan Diskusi: Merawat NKRI


Oleh: Guntur Pribadi

Diskusi siang itu kian hangat. Disela-sela pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kabupaten Kukar ,  Kaltim, awal Agustus, sejumlah aktivis dari berbagai eleman, seperti kalangan aktivis mahasiswa, jurnalis lokal, peneliti dan pengamat dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, berbincang tentang masa depan Indonesia.

Diskusi serius santai pun dimulai dari wacana keindonesiaan kini dan kedepan, hingga kemudian mengalir ke tema nasionalisme dan “merawat” Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seorang peserta diskusi mencoba memantik peserta lainnya dengan isu geliat gerakan separatis di wilayah Timur Indonesia. “Biasanya yang lebih rawan menyatakan merdeka adalah daerah-daerah yang memiliki Sumber Daya Alam kaya,” ujar seorang peserta, yang juga narasumber pada pelatihan hari itu.

Mengapa daerah kaya rantan ingin memerdekaan diri? Jawabnya, masyarakat daerah-daerah kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah cenderung mempunyai rasa kepemilikan terhadap aset daerahnya, kendati mereka tidak sepenuhnya menikmati hasil alamnya. Dari “harta daerah” itu, mereka pun tak segan ingin memisahkan diri dari NKRI.

Daerah-daerah dengan modal besar tersebut itulah, selain soal kesejarahan dan ideologi, yang kemudian juga menjadi lahan empuk untuk diprovokasi oleh kelompok-kelompok berkepentingan. Dan disamping itu, bukan rahasia lagi, kemudian daerah-daerah yang melimpah SDA-nya dan ingin merdeka disponsori oleh kekuatan pemilik ideologi dan modal.

Sebagai contoh di Papua, gejolak “perlawanan” separatis bukan hanya muncul karena persoalan faktor internal kedaerahan dan nasional, tapi juga tidak terlepas dari faktor kekuatan asing.

Bukan rahasia, peran negara seperti Amerika Serikat (AS) juga telah ikut mendorong “hawa panas” di Papua seperti kunjungan anggota kongres AS, bulan Juli lalu. Negara adidaya tersebut secara tidak langsung telah ikut mengintervensi soal Papua. Dan tentunya, ikut campur AS itu sebenarnya dapat dibaca oleh banyak bangsa ini, bahwa AS juga memiliki kepentingan dengan kekayaan alam di wilayah paling timur Indonesia, itu.

Sama halnya kasus perencanaan pengibaran “bendera merdeka” oleh simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS), juga disebut-sebut faktor kekuatan asing sangat berperan, bahkan hingga soal suaka politik oleh AS untuk dedengkot RMS, Alexander Manuputty.

***
Perbincangan wacana keindonesiaan pun ketika itu tampak mulai serius. Peserta diskusi mulai bertambah. Lingkaran tukar pikiran tersebut mulai terlihat merapat. Dan sesekali, seorang peserta diskusi bercanda dengan celetuk,”Yang jauh merapat, yang terlalu rapat agak menjauh, biar baunya tidak berputar”.

Setelah sejenak refresh, pembicaraan kemudian berlanjut dan mengalir ke soal keretakan integerasi bangsa dan nasionalisme.

“Kita ini sebenarnya bukan bangsa bersatu,” celetuk seorang jurnalis di sebuah website lokal. “Rasa persatuan dan kesatuan yang kita miliki hanyalah imajiner,” ucapnya. Bahkan tanpa ragu, mantan aktivis pers kampus, itu, juga mengatakan, rasa kebangsaan dan nasionalisme kita hanya sebatas bendera dan lagu Indonesia raya.

“Lihat saja ketika Agustusan, kita semarak membesarkan berbagai hiburan, sementara kita tak pernah merenungi dan memaknai kembali kemerdekaan Indonesia secara hakiki. Kita tidak pernah menyadari apakah kita sudah merdeka atau sebaliknya penjajahan tetap ada di negeri ini,” tandasnya, lagi.

Memang jika direnungkan kembali, rasa kebangsaan kita tidaklah menetes begitu saja dari langit. Tapi rasa itu lahir dari kondisi psikologis bangsa yang terjajah. Kita lama mengalami tekanan kolonialisme. Rasa senasib itu pun kemudian diramu para pendiri negara ini dalam bingkai “persatuan dan kesatuan” dengan janji: “Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia…”

Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian apakah “persatuan dan kesatuan” itu benar-benar telah disepakati bangsa ini. Dan mengapa pasca Indonesia merdeka, getaran-getaran separatis kian menyengat konsep “persatuan dan kesatuan” bangsa ini. Dimana kesalahan konsep “persatuan dan kesatuan” itu?

Memang bukanlah soal mudah mengotak-atik konsep “persatuan dan kesatuan” bangsa ini. Janji bersatu dalam bangsa, tanah air, hingga bahasa lahir dari kalangan pemuda pelopor Indonesia merdeka 1928. Rasa senasib berjuang dan melawan penjajah itulah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, yang kemudian dinyatakan dalam tekad “persatuan dan kesatuan”.

Namun pernahkah kita sadar akan makna “persatuan dan kesatuan” itu? Atau jangan-jangan itu hanya sebatas jargon nasional saja, sementara pada kenyataanya negeri ini masih dihantui disintegrasi nasional, konflik sosial, suku hingga agama.

Merawat Indonesia, seperti rasa persatuan dan kesatuan bangsa memang membutuhkan kesadaran nasionalisme yang tinggi. Presidan pertama Indonesia Soekarno mengatakan, bahwa semangat proklamasi (kemerdekaan) itu adalah semangat persatuan. Dan Soekarno sangat sadar, kuat dan besarnya bangsa ini terletak pada semangat persatuan dan kesatuannya. Seperti dalam pepatah: “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Itu karenanya, untuk menuju “perawatan” Indonesia, sangat diperlukan pembenahan integrasi nasional. Integrasi sendiri merupakan sebuah proses penyatuan pelbagai nilai-nilai umum bangsa ini. Jadi disamping membutuhkan waktu yang tidak singkat, proses integrasi juga membutuhkan komitmen bersama, yakni antara pemerintah dan masyarakat.

Mengikuti pandangan Auguste Comte, faktor penentu dalam proses pengintegrasian terletak pada kesepakatan bersama antar masyarakat. Jadi pada prinsipnya semangat integrasi itu sendiri lahir dari masyarakat, bukan proyek para penguasa yang seringkali, tanpa disadari, membungkus konflik dalam kebijakan-kebijakan kepemerintahan.

Selain itu, mengikuti pemikiran R William Liddle, perlu ada dalam proses integrasi nasional sebuah kesepakatan bersama menyangkut batas teritorial negara ini serta sistem pemerintahan yang dibangun. Jadi dengan demikian relasi pemerintah dengan masyarakat tidaklah sebatas ketika memilih pemimpinnya saja, tapi juga menyangkut proses komunikasi politik yang sehat, transparan, dan demokratis antara pemerintah dengan masyarakat. []

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.