
Oleh: Guntur Pribadi
SEJARAH
peradaban di negeri ini tidak dapat dilepaskan dari jejak kerajaan hindu tertua
Muara Kaman. Kerajaan tertua di Nusantara ini, yang dalam penelitian arkeologi
sebagai tonggak awal bangsa, itu, terletak di wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim). Tepatnya di pertemuan Sungai
Mahakam, yakni Sungai Kedang Rantau, Kampung Muara Kaman.
Secara
geografis letak wilayahnya memang cukup terpencil. Namun untuk menuju ke daerah
itu tidaklah terlalu silit. Ada dua jalur yang bisa dilalui untuk menuju
kampung tersebut: jalur darat atau melalui jalur sungai dengan menggunakan
kapal sungai. Sedangkan dari Kota Propinsi Samarinda, jarak yang bisa ditempuh
sekitar 110 kilometer ke Kampung Muara Kaman.
Nama Muara
Kaman sendiri sebenarnya tidaklah asing lagi. Dalam lembar Sejarah Nasional
Indonesia, kecamatan dengan luas wilayah 3.410,10 km2, itu, disebut-sebut
sebagai sentral Kerajaan Hindu tertua pada abad ke IV di nusantara ini. Tidak
hanya itu, bahkan hasil riset para arkeolog yang pernah melakukan penelitian di
wilayah Muara Kaman, menyebut kampung yang masyarakatnya kebanyak nelayan itu,
sebagai tonggak awal peradaban bangsa Indonesia.
Banyak bukti
sejarah yang menunjukkan Muara Kaman sebagai peradaban tertua dan pertama
bangsa Indonesia. Diantaranya dengan ditemukanya banyak situs purbakala yang
bernilai sejarah dan memiliki peradaban yang cukup tinggi. Seperti, penemuan
Prasasti Yupa (inscription of yupa) yang didalamnya menceritakan tentang
Kerajaan Kutai Martadipura (Martapura) di Muara Kaman, bukan tentang Kesultanan
Kutai Kartanegara yang terletak di Tenggarong.
Prasasti
Yupa tersebut juga mencatat: Raja Kudungga disebut sebagai pendiri kerajaan. Ia
memiliki 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Mulawarman inilah
raja termashur yang pernah menyedekahkan 20.000 ekor kerbau kepada para
Brahmana. Untuk memperingati hal itu, para Brahmana itu pun kemudian
mengukirnya dalam pahatan Prasasti Yupa.
Selain
penemuan Prasasti Yupa sebagai bukti sejarah di Muara Kaman pernah berdiri
kerajaan dengan peradaban yang cukup tinggi. Di wilayah yang memiliki 19 desa,
itu, ternyata kini kian diminati banyak wisatawan baik dalam maupun luar
negeri, disamping para peneliti.
Sisa-sisa
jejak sejarah kerajaaan Kutai Martadipura di wilayah tersebut tampak terlihat.
Seperti, Lesong Batu (Lesong Stone), tiang pengikat 20.000 ekor kerbau
raja Mulawarman, hingga berbagai situs makam kuno, guci dan kramik Cina,
manik-manik, gerabah, mata tombak, piring logam tua.
Hasil
penelitian arkeolog, belum lama ini, bahkan menyebutkan kerajaan tertua
tersebut juga telah melakukan jalinan dagang dengan bangsa-bangsa luar, seperti
Cina dan India. Ini dibuktikan dengan adanya penemuan benda-benda kuno
bernuansa India dan Cina.
Selain
adanya bukti telah terjadi interaksi perdagangan internasional di kerajaan
Kutai Martadipura, para arkeolog juga memperkirakan, pada masa kerajaan
tersebut juga telah ada tradisi tulis-menulis, seperti terlihat dalam pahatan
Prasasti Yupa.
Semua hasil
penemuan itu secara tidak langsung telah ikut membuka tabir peradaban bangsa
ini. Penelusuran sejarah purbakala di Muara Kaman memang seharusnya terus
dilestarikan. Disamping sebagai ruang interaksi masa kini dengan masa lalu.
Riset-riset purbakala tersebut juga dapat membuka wawasan bangsa ini mengenai
jejak-jejak peradaban dan nenek moyang kita.
Arkeolog
asal Universitas Negeri Malang yang pernah melakukan penelitian terhadap
situs purbakala di Muara Kaman, Dwi Cahyono, menegatakan, kelesatarian situs
dunia tersebut akan sangat tergantung pada masyarakat lokalnya. Sebab jika tak
ada perhatian serius bukan tidak menutup kemungkinan warisan dunia tersebut
akan “terkubur” di tangan-tangan para kolektor dan orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.
”Apakah
keberadaan situs Muara Kaman akan dibiarkan begitu saja dengan segala misteri
dan kegelapan sejarahnya. Dibiarkan terancam kelestarian tinggalan budaya
luhurnya, ataukah sebaliknya disikapi dan ditindaklanjuti secara bijak dengan
melestarikan, dan mengembangkan dan memanfaatkannya,” ucap Dwi.
Dan semua
itu tentunya juga akan kembali pada bangsa ini. Terjaga atau tidaknya,
peninggalan purbakala itu juga akan sangat tergantung pada kepedulian bangsa
ini. Situs dunia itu bukan saja milik warga Muara Kaman. Tapi juga milik bangsa
Indonesia keseluruhan. Kapan lagi kita peduli dengan benda-benda warisan nenek
moyang yang ada di negeri ini? Peringatan: “Membeli atau mencuri benda-benda
sejarah di negeri ini sama halnya mengubur sejarah bangsa”. Mari menjaga. []
*) Blogger
dan Citizen Journalist
No comments:
Post a Comment