Tuesday, August 21, 2007

Peradaban Dunia di Hulu Sungai Mahakam


Oleh: Guntur Pribadi

SEJARAH peradaban di negeri ini tidak dapat dilepaskan dari jejak kerajaan hindu tertua Muara Kaman. Kerajaan tertua di Nusantara ini, yang dalam penelitian arkeologi sebagai tonggak awal bangsa, itu, terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim). Tepatnya di pertemuan Sungai Mahakam, yakni Sungai Kedang Rantau, Kampung Muara Kaman.

Secara geografis letak wilayahnya memang cukup terpencil. Namun untuk menuju ke daerah itu tidaklah terlalu silit. Ada dua jalur yang bisa dilalui untuk menuju kampung tersebut: jalur darat atau melalui jalur sungai dengan menggunakan kapal sungai. Sedangkan dari Kota Propinsi Samarinda, jarak yang bisa ditempuh sekitar 110 kilometer ke Kampung Muara Kaman.

Nama Muara Kaman sendiri sebenarnya tidaklah asing lagi. Dalam lembar Sejarah Nasional Indonesia, kecamatan dengan luas wilayah 3.410,10 km2, itu, disebut-sebut sebagai sentral Kerajaan Hindu tertua pada abad ke IV di nusantara ini. Tidak hanya itu, bahkan hasil riset para arkeolog yang pernah melakukan penelitian di wilayah Muara Kaman, menyebut kampung yang masyarakatnya kebanyak nelayan itu, sebagai tonggak awal peradaban bangsa Indonesia.

Banyak bukti sejarah yang menunjukkan Muara Kaman sebagai peradaban tertua dan pertama bangsa Indonesia. Diantaranya dengan ditemukanya banyak situs purbakala yang bernilai sejarah dan memiliki peradaban yang cukup tinggi. Seperti, penemuan Prasasti Yupa (inscription of yupa) yang didalamnya menceritakan tentang Kerajaan Kutai Martadipura (Martapura) di Muara Kaman, bukan tentang Kesultanan Kutai Kartanegara yang terletak di Tenggarong.

Prasasti Yupa tersebut juga mencatat: Raja Kudungga disebut sebagai pendiri kerajaan. Ia memiliki 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Mulawarman inilah raja termashur yang pernah menyedekahkan 20.000 ekor kerbau kepada para Brahmana. Untuk memperingati hal itu, para Brahmana itu pun kemudian mengukirnya dalam pahatan Prasasti Yupa.

Selain penemuan Prasasti Yupa sebagai bukti sejarah di Muara Kaman pernah berdiri kerajaan dengan peradaban yang cukup tinggi. Di wilayah yang memiliki 19 desa, itu, ternyata kini kian diminati banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, disamping para peneliti.

Sisa-sisa jejak sejarah kerajaaan Kutai Martadipura di wilayah tersebut tampak terlihat. Seperti, Lesong Batu (Lesong Stone), tiang pengikat 20.000 ekor kerbau raja Mulawarman, hingga berbagai situs makam kuno, guci dan kramik Cina, manik-manik, gerabah, mata tombak, piring logam tua.

Hasil penelitian arkeolog, belum lama ini, bahkan menyebutkan kerajaan tertua tersebut juga telah melakukan jalinan dagang dengan bangsa-bangsa luar, seperti Cina dan India. Ini dibuktikan dengan adanya penemuan benda-benda kuno bernuansa India dan Cina.

Selain adanya bukti telah terjadi interaksi perdagangan internasional di kerajaan Kutai Martadipura, para arkeolog juga memperkirakan, pada masa kerajaan tersebut juga telah ada tradisi tulis-menulis, seperti terlihat dalam pahatan Prasasti Yupa.

Semua hasil penemuan itu secara tidak langsung telah ikut membuka tabir peradaban bangsa ini. Penelusuran sejarah purbakala di Muara Kaman memang seharusnya terus dilestarikan. Disamping sebagai ruang interaksi masa kini dengan masa lalu. Riset-riset purbakala tersebut juga dapat membuka wawasan bangsa ini mengenai jejak-jejak peradaban dan nenek moyang kita.

Arkeolog asal Universitas Negeri Malang  yang pernah melakukan penelitian terhadap situs purbakala di Muara Kaman, Dwi Cahyono, menegatakan, kelesatarian situs dunia tersebut akan sangat tergantung pada masyarakat lokalnya. Sebab jika tak ada perhatian serius bukan tidak menutup kemungkinan warisan dunia tersebut akan “terkubur” di tangan-tangan para kolektor dan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

”Apakah keberadaan situs Muara Kaman akan dibiarkan begitu saja dengan segala misteri dan kegelapan sejarahnya. Dibiarkan terancam kelestarian tinggalan budaya luhurnya, ataukah sebaliknya disikapi dan ditindaklanjuti secara bijak dengan melestarikan, dan mengembangkan dan memanfaatkannya,” ucap Dwi.

Dan semua itu tentunya juga akan kembali pada bangsa ini. Terjaga atau tidaknya, peninggalan purbakala itu juga akan sangat tergantung pada kepedulian bangsa ini. Situs dunia itu bukan saja milik warga Muara Kaman. Tapi juga milik bangsa Indonesia keseluruhan. Kapan lagi kita peduli dengan benda-benda warisan nenek moyang yang ada di negeri ini? Peringatan: “Membeli atau mencuri benda-benda sejarah di negeri ini sama halnya mengubur sejarah bangsa”. Mari menjaga. []

*) Blogger dan Citizen Journalist


No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.