Thursday, September 08, 2011

Skandal Korupsi, antara Mentalitas dan Peluang

Oleh: Guntur Pribadi *)

MEMERANGI korupsi di negeri ini seperti mimpi. Rasanya sudah terlalu banyak bual retorika pemimpin dan elemen masyarakat yang memprogramkan perang terhadap korupsi. Apa iya bangsa ini dengan mudahnya akan terlepas dari gurita praktik korupsi yang telah membudaya?

Korupsi yang dalam bahasa latin dikenal corruptio atau corruptus merupakan asal kata corrumpere yang kemudian istilahnya berkembang ke banyak bahasa. Dalam bahasa Inggris korupsi disebut corruption, corrupt; Perancis disebut corruption; dan Belanda dikenal corruption (korruptie). Informasinya, dari bahasa Belanda inilah kata ‘korupsi’ lebih dikenal di Indonesia, dengan sebutan korupsi.

Secara harfiah, kata korupsi memiliki arti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan, hingga bermakna pada kata-kata memfitnah. Namun dalam dominasi makna, kata korupsi lebih memiliki maknanya pada ketidakjujuran, penyimpangan (uang negara/milik umum), hingga penyuapan untuk mendapatkan kekayaan diri, kelompok, dan golongan.

Jika mau jujur pada ringkas sejarah, korupsi di negeri ini sesungguhnya ‘warisan’ lama yang meliputi kekuasaan bangsawan pada masa kerajaan, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, hingga pasca kemerdekaan. Praktiknya pun beragam: dari perebuatan kekuasaan, ‘menjilat’ pemerintah kolonial, merampas upeti dan tanah-tanah rakyat, hingga mencurangi hak-hak rakyat.

Pada masa kerajaan −kita baca, dan bahkan kita dengar− perebutan tahta hingga pencaplokan wilayah kekuasaan oleh para raja menjadi bagian yang tak terelakan dari sifat ‘ingin’ menguasai. Dan turun-temurun, perseteruan memperebutkan kuasa dilingkaran kerajaan dan perebutan wilayah menjadi catatan penting awal geliat korupsi yang bersentuhan langsung dengan ‘acara’ perebutan kekuasaan.

Bagian-bagian sejarah kita juga mencatat, kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini runtuh dan takluk dihadapan penjajah karena tak dapat menolak ‘imbalan’ yang diberikan penjajah. Selain itu juga, adanya ketidakjujuran bangsawan untuk mempertahankan kekuasaan sehingga ‘tergiur’ pada jabatan dan posisi yang ditawarkan penjajah. Dari semua itu, sebenarnya kita tahu, akar nrimo ‘imbalan’ sudah dipraktikkan oleh para penguasa nusantara ini dimasa kerajaan.

Jadi, sangat wajar bila budaya korupsi di negeri ini sepertinya telah menggurita hingga pasca kemerdekaan. Memeranginya pun bukan dengan mengandalkan mimpi. Tapi, kejujuran, keberanian, ketegasan pemerintah dan seluruh elemen.

Satu hal yang perlu diingat, budaya korupsi itu sendiri, jika kita mau jujur, sebenarnya tidak muncul dengan sendirinya. Praktik sogok, menerima suap, menilap ‘harta’ milik rakyat, hingga melakukan penyimpangan kekuasaan, itu muncul karena ada ruang, celah, dan kesempatan untuk melakukannya. Jadi, bila dianalisis secara sederhana, praktik korupsi itu merupakan soal ‘ruang’ dan ‘tempat’: diantara kesempatan posisi, jabatan, dan kedudukan.

Dari sisi sifat manusia, siapapun sebenarnya memiliki mentalitas untuk korupsi. Sebab, sifat baik dan buruk itu sejujurnya telah ada pada diri manusia. Namun demikian, Tuhan mengajarkan kepada manusia agar memerangi dan mengalahkan sifat buruk: perusak, ketidakjujuran, penyimpangan, fitnah, dan sifat-sifat buruk lainnya.

Sejak penciptaan manusia awal: Adam-Hawa, perjalanan manusia melanggar perintah Tuhan telah ada dilakukan. Untuk tidak menyebut terlalu berlebihan, Adam sebagai manusia pertama telah melakukan pelanggaran terhadap larangan Tuhan. Dalam catatan kitab ‘keyakinan’, Adam dilarang untuk memakan buah ‘terlarang’ oleh Tuhan. Namun oleh Adam larangan itu dilanggar. Ia tetap memakan buah ‘terlarang’ tersebut. Dan sehingga, Ia pun harus dikeluarkan dari kehidupannya yang abadi: surga.

Sikap Adam ini bisa dikatakan sebagai kesalahan besar. Ia menerobos sekat-sekat yang oleh Tuhan dilarang. Sifatnya memakan buah ‘terlarang’ itu bagian penyimpangan: sifat koruptif. Dan Adam sendiri sebagai mahluk yang diciptakan tak kuasa untuk menikmati kelezatan buah ‘terlarang’.

Tapi, satu hal dari apa yang dilakukan Adam adalah tidak adanya larangan yang jelas. Adam mendapatkan kesempatannya pada ruang dan tampatnya yang terlampau nikmat. Seandainya ada regulasi yang keras dan alasan tentang larangan, mungkin saja Adam tidak memakan buah ‘terlarang’ itu.

Soal kesempatan memang seringkali membuat manusia lupa diri. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan yang diinginkan. Para koruptor juga tidak bisa dipersalahkan terus-menerus. Sangat mungkin, Ia melakukan korupsi karena ada celah: kesempatan untuk melakukannya, disamping karena regulasi dan sistem hukum yang lemah.

Memerangi korupsi bukan pekerjaan sekedar retorika. Tapi, pekerjaan yang membutuhkan kejujuran, keberanian, ketegasan, dan komitmen pemimpin. Tak salah kita belajar pada Cina yang tegas, berani, dan tak ingin bermimpi memerangi korupsi. Di negeri Tirai Bambu itu, jangan coba-coba untuk melakukan perbuatan korupsi. Sudah banyak koruptor dihukum berat disana, bahkan tidak sedikit yang harus menjalani hukuman mati.

Cina ketika dipimpin Perdana Menteri, Zhu Ronghzi, perbuatan korupsi seperti praktik yang sangat menakutkan. Zhu tidak main-main dengan komitmen yang sejak awal diucapkannya: “Beri saya 100 peti mati, dan saya akan mengubur 99 koruptor di negeri ini, dan satu lagi akan saya pakai jika saya juga korupsi”.

Ketegasan Zhu bukanlah retorika saat itu. Ia benar-benar menyikat keras para pejabat di negeri Cina yang terbukti melakukan perbuatan penyimpangan uang rakyat. Kita bisa tahu, diantara pejabat Cina ternama yang harus menjalani hukuman mati karena korupsi seperti, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, yang dihukum mati pada Maret 2000. Hu terbukti dipengadilan menerima suap senilai lebih 600.000 dolar AS atau sekitar Rp 5,1 Miliar pada saat itu.

Selain Hu, hukuman mati juga diterima Wakil Walikota Leshan, Li Yushu pada Januari 2002. Li oleh pengadilan terbukti menerima suap senilai 1 juta dolar AS, dua buah mobil mewah, dan sebuah jam tangan mewah. Pengadilan Tinggi Rakyat disana juga berpendapat, Li telah memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dengan kolusi. Li terbukti mengumpulkan kemewahan sejak menjabat sebagai walikota dengan memiliki sejumlah saham dan mobil mewah senilai 1,5 juta dolar AS.

Hukuman mati di Cina tidak berhenti. Setelah Zu dan Li, hukuman mati kemudian menyusul pada mantan kepala Distrik Haidan Beijing, Zhou Liangluo. Mantan pejabat ini terbukti telah menerima suap 16 juta Yuan atau sekitar 2,2 juta dolar AS. Zhou juga terbukti telah memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan kekayaan tersebut. Tak sampai disitu, istrinya pun, Lu Xiao, ikut terseret dengan hukuman penjara seumur hidup karena menerima 8 juta Yuan atau sekitar 1,1 juta dolar AS, saat itu.

Hukuman mati bagi koruptor di Cina terus berlanjut, meskipun banyak sorotan dan prokontra terhadap penerapan hukuman mati tersebut. Namun, kita bisa belajar disana mengenai ketegasan, keberanian, kejujuran, dan tidak bermimpinya pemimpin Cina memerangi perbuatan korupsi.

Jadi, masihkah kita bermimpi untuk memberantas korupsi? Bermimpi itu memang gratis. Tak perlu harus kerja keras dengan membuat selogan, kampanye, dan retorika ini dan itu soal perangi korupsi. Cukup kita bermimpi, seolah-olah praktik korupsi bisa dengan mudah diberantas.

Dan jika pemerintah Cina berani tidak ingin terus-menerus bermimpi, mengapa kita masih suka bermimpi perang melawan korupsi?

Hukuman mati seperti yang diterapkan Cina terhadap koruptor mungkin dinilai tidak manusiawi dan dianggap melanggar hak asasi manusia. Tapi, tentunya kita juga jangan terlalu bermimpi untuk memerangi korupsi di negeri ini yang telah kronis, terlebih lagi hanya dengan komitmen retorika bual politis dari para pemimpin.

Pemberantasan korupsi di negeri ini membutuhkan ketegasan, keberanian, kejujuran, komitmen, dan bukti nyata yang dimulai dari kepemimpinan bangsa ini. Pemberantasan korupsi tidak akan tuntas, jika pemimpin bangsa ini tidak memulainya dari ‘gaya’ memimpin yang tegas, jujur, adil, dan berani.

Perlu kita sadari, korupsi itu tumbuh dari celah yang memang sengaja dibangun. Nah, celah ini dapat saja dibiarkan terbuka atau disumbat, semunaya tergantung siapa yang memimpin. Sekali lagi, mentalitas korup itu dapat menjangkiti siapa saja tanpa melihat siapa dan status. Sekalipun itu adalah kita. Sebab, korupsi atau tidak, itu sesungguhnya soal mentalitas dan celah.

Karena itu, pemberantasan korupsi di negeri ini harus dimulai dan dikomandoi dengan tegas dan nyata dari pemimpin negeri ini, disamping dukungan penuh elemen masyarakat. Tanpa itu, negeri ini akan terus-menerus rapuh dan runtuh layaknya bangunan rumah yang digerogoti rayap dan tikus.[]

*) Citizen Journalist, Kalimantan Timur

Tulisan ini juga dapat dilihat di: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Skandal+Korupsi%2C+antara+Mentalitas+dan+Peluang&dn=20110908155528

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.