Oleh: Guntur Pribadi
Kekuatan massa memang tidak dapat
dianggap remeh. Pemerintah jangan pernah menganggap aksi protes sebagai bagian
riak demokrasi biasa tanpa pernah menyimpan bara konflik. Peristiwa kerusuhan
di Bima, Nusa Tanggara Barat, beberapa waktu lalu (Kamis, 26/1/2012), adalah potret betapa massa
punya pilihan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan daerahnya.
Pemerintah
harus belajar dari peristiwa di Bima dan daerah-daerah lain yang mengalami hal
serupa. Kerusuhan Bima yang berawal dari aksi ribuan massa yang melakukan demonstrasi meminta agar SK Nomor 188 Tahun
2010 tentang izin pertambangan dicabut, berakhir rusuh. Ribuan massa tidak saja
menolak izin tambang itu, bahkan mendadak beringas hingga membakar Kantor
Bupati Bima.
Buntut kerusuhan warga tersebut, Bupati
Bima pun akhirnya mengeluarkan keputusan penghentian secara tetap izin kegiatan
usaha pertambangan eksplorasi PT. Sumber Mineral Nusantara yang dikeluarkan oleh pemerintah
Kabupaten Bima.
Terlepas dari siapa yang berkepentingan,
bisa saja izin tambang yang protes dan ditolak warga Bima karena warga merasa
terancam kehidupan dan lingkungannya. Inilah yang seharusnya juga diperhatikan
pemerintah.
Pemerintah bisa lebih belajar bahwa kekuatan massa, sekali lagi, tidak dapat dianggap remeh. Negara sebagai ruang dan penjamin hak-hak warga sudah seharusnya meletakan warga negara dalam posisinya yang terlindungi.
Pemerintah bisa lebih belajar bahwa kekuatan massa, sekali lagi, tidak dapat dianggap remeh. Negara sebagai ruang dan penjamin hak-hak warga sudah seharusnya meletakan warga negara dalam posisinya yang terlindungi.
Tumpukan kekecewaan warga terhadap
pemerintah yang meledak-ledak bisa saja karena ruang dialog tak transparan.
Kebuntuan komunikasi dan seringkalinya hak-hak warga dikesampingkan menjadi
bumerang tersendiri dari kebijakan dan keputusan pemerintah.
Setidaknya pemerintah bisa lebih belajar
dari berbagai kasus amuk massa dan akibat konflik kepentingan yang
pernah-pernah terjadi. Kekuatan massa bisa muncul karena adanya
ketidakharmonisan antara pemerintah dengan warga. Kebijakan yang tidak popular
ditambah gaya hidup pemimpin yang seringkali borjuistik akan sangat membuka
ruang renggang antara warga dengan pemerintah.
Bara konflik semacam di Bima bukan tidak
mungkin dapat saja menyala di wilayah-wilayah lain di negeri ini, jika
pemerintah tak tanggap dan respek dengan aspirasi warga yang selalu dinamis.
Untuk skala, memang tak dapat diprediksikan berapa kecil dan besar daya
konfliknya. Namun, setidaknya, bara konflik warga versus pemerintah dapat saja
meledak jika pemerintah sendiri yang ‘menyalakannya’.
Kerusuhan di Bima yang dalam konteks
penolakan izin tambang akan sangat mungkin menjadi cermin bagi daerah-daerah
yang memiliki wilayah potensi tambang.
Di Samarinda, Kalimantan Timur,
aktivitas tambang pun menjadi sorotan keras dari sebagian masyarakat,
mahasiswa, dan sejumlah kelompok LSM. Gerakan Samarinda Mengguat (GSM) yang
belakangan ini terus digerakan adalah bukti adanya protes dan penolakan
aktivitas dan izin tambang yang mendekati wilayah-wilayah pemukiman warga di
kota itu.
Kendati kuantitas aksi warga dan LSM tak
sebesar yang terjadi di Bima, namun pemerintah Kota Samarinda tetap harus
mendengar dan menyerap kekecewaan warga selama ini. Kerusuhan di Bima, sekali
lagi, adalah pembelajaran berharga bagi semua pemerintah daerah.
Konflik yang berlatar kebijakan dan
kegiatan pertambangan harus mendapat perhatian serius pemerintah, baik daerah
maupun pusat. Pemerintah harus mengambil sikap tegas dan bijak dalam menyikapi
dampak tambang dan perkebunan yang apabila tidak menguntungkan dan
mensejahterakan masyarakat, termasuk dampak lingkungannya. Mari belajar dari
Bima! []
*) Tulisan ini pernah dilansir di Koran Harian Tribun Kaltim, Jumat, 10 Februari 2012, Hal. 7
No comments:
Post a Comment