LEDAKAN kerusuhan yang terjadi belakangan ini di beberapa wilayah
seperti di Mesuji, Bima, Lampung, Ambon, Papua, dan beberapa bentrokan fisik
warga di beberapa wilayah lainnya di negeri ini menjadi realitas yang tampaknya
mulai biasa kita melihatnya, dan bahkan boleh dikatakan, tampak membudaya.
Ada apa sebenarnya dengan negara ini sehingga tampak kekerasan
bentrok fisik masyarakat dengan aparat ataupun pemerintah menjadi jalan
terakhir dalam setiap penyelesaian masalah?
Kerusahan dan bentrok fisik dalam penyelesaian masalah seharusnya
tidak mudah terjadi di negeri ini. Apalagi kita tahu masyarakat Indonesia
dikenal sebagai masyarakat dengan kehidupannya yang ramah tamah, bergotong
royong, bermasyarakat, dan bahkan religius. Tentu sangat berbalik dengan
melihat realitas kekerasan yang terjadi belakangan ini: masyarakat kita mudah
terjebak dalam penyelesaian masalah yang diluapkan dengan kekerasan fisik.
Memperhatikan dari beberapa ledakan kekerasan yang meluap di berbagai
wilayah di negeri ini, tampaknya bukanlah persoalan yang muncul seketika. Ada akumulasi
kekecewaan dan kebuntuan komunikasi antar warga dengan pihak-pihak pemegang
kuasa atau modal yang terjadi. Dan ironisnya, akumulasi persoalan ini tak
terkelola dengan baik. Kekecewaan warga yang tidak mendapatkan aksesnya itu
kemudian menjadi pemicu ‘bom waktu’ benturan fisik.
Negara atau pemerintah seharusnya sudah dapat ‘membaca’ bahwa aspirasi
warga yang berkembang adalah kekuatan sosial yang semestinya mendapatkan ruang.
Namun, lagi-lagi, dalam menghadapi akumulasi kekecewaan sosial itu, negara
seringkali ikut terbawa arus kekerasan daripada melakukan pendekatan politik
dan hukum yang terbuka dan mendidik.
Kemudian, hal yang juga dapat menjadi pemicu ledakan emosi warga
adalah hilanganya dialog atau komunikasi antar warga dan pemegang kuasa atau
modal yang konstruktif.
Kebuntuan komunikasi ini tentu sangat rentan menjadi
ruang pengap yang bisa saja meledak tanpa pernah diperkirakan. Dan ini bisa
kita lihat dari beberapa kasus benturan warga yang hanya menyisakan banyak korban
dan kerugian.
Betapa menyedihkan tentunya, melihat perilaku kekerasan di negeri
ini hingga harus menjadi pilihan warga dan pemegang kuasa dalam menyelesaikan
masalah. Apakah tak ada lagi tempat teduh untuk bermusyawarah yang menjadi
karakter bangsa ini dalam setiap menyelesaikan masalah?
Negara Tanpa Wibawa
Untuk menekan kekerasan massa, negara sudah seharusnya tegas dan
bijak menyikapinya. Melemahnya wibawa intitusi-institusi negara dan penegakan
hukum yang impoten, tentu menjadi akses bagi warga untuk meluapkan
ketidakpuasannya. Kerusahan di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi
baru-baru ini, dengan ribuan warga menyerang Kantor Bupati dan membakarnya
adalah satu diantara potret yang mempertontonkan ketidakpercayaan warga
terhadap instrumen negara.
Negara harus berwibawa. Inilah yang seharusnya dilakukan
pemerintah. Kekuatan massa dapat ditekan, jika pemerintah sendiri memiliki
tauladan dan kebijakan yang mengedepankan kepentingan umum.
Banyaknya para pejabat dan kebijakan politik yang korup serta tidak
populis tentu menjadi bagian sebab institusi negara kehilangan wibawanya di
hadapan masyarakat. Bagaimana bisa negara dapat memutus mata rantai kekerasan
warga, jika secara struktural negara mengalami kerapuhan dalam sistem dan kebijakan.
Kekerasan warga yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini
dapat pula dikatakan sebagai respon sosial yang tak terkendali dan tak
mendapatkan tempatnya secara adil. Ia lahir dan tumbuh dari sistem kekuasaan
yang memang memberikan ruang dan ide bagi munculnya kekerasan.
Sebenarnya gagasan dan sistem negara memiliki peran dominan hingga
dapat membuka celah benturan fisik warga.
Antonio Gramsci mengatakan, gagasan negara tanpa disadari dapat masuk dalam
pikiran bawah sadar manusia melalui instrumen-instrumen yang dimiliki negara.
Kekerasan yang menjalar di negeri ini sesungguhnya persoalanya
adalah dari negara sendiri. Hegemoni yang dimiliki negara memiliki potensi untuk
menjalarkan ide-ide kekerasan lewat institusi-institusinya. Dan ini bisa saja
lewat sektor pendidikan, agama, militer, dan bahkan media massa. Jika instrumen-instrumen
tersebut tak dikelola dengan bijak, baik, mendidik, dan demokratis, akan sangat
memungkinkan perangkat-perangkat negara rentan menjadi ‘alat produksi’ pemicu
kekerasan.
Disinilah, seharusnya, power
institusi-institusi negara ditunjukan untuk menyerap dan mengelola aspirasi warga
dengan bijaksana. Bukan sebaliknya, negara
menciptakan dan memelihara arena kekerasan ditengah sosial. Kebijakan
dan sistem negara harus membuka jalan penyelesaian masalah tanpa benturan fisik.
Negara harus kuat dan berwibawa untuk menekan dan mengelola aspirasi masyarakat.
Tanpa wibawa, negara akan terus mengalami kekalahannya menghadapi akumulasi
kekecewaan dan ketidakpuasan warga. []
*) Tulisan ini pernah dilansir di Koran Harian Tribun Kaltim, Selasa, 14 Februari 2012, Hal. 7
Sumber ilustrasi: http://www.isolapos.com/wp-content/uploads/2012/02/stop-violence.gif
No comments:
Post a Comment