Tuesday, March 06, 2012

Kekerasan Warga, Dimana Wibawa Negara?



Oleh: Guntur Pribadi *)

LEDAKAN kerusuhan yang terjadi belakangan ini di beberapa wilayah seperti di Mesuji, Bima, Lampung, Ambon, Papua, dan beberapa bentrokan fisik warga di beberapa wilayah lainnya di negeri ini menjadi realitas yang tampaknya mulai biasa kita melihatnya, dan bahkan boleh dikatakan, tampak membudaya.

Ada apa sebenarnya dengan negara ini sehingga tampak kekerasan bentrok fisik masyarakat dengan aparat ataupun pemerintah menjadi jalan terakhir dalam setiap penyelesaian masalah?

Kerusahan dan bentrok fisik dalam penyelesaian masalah seharusnya tidak mudah terjadi di negeri ini. Apalagi kita tahu masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat dengan kehidupannya yang ramah tamah, bergotong royong, bermasyarakat, dan bahkan religius. Tentu sangat berbalik dengan melihat realitas kekerasan yang terjadi belakangan ini: masyarakat kita mudah terjebak dalam penyelesaian masalah yang diluapkan dengan kekerasan fisik.

Memperhatikan dari beberapa ledakan kekerasan yang meluap di berbagai wilayah di negeri ini, tampaknya bukanlah persoalan yang muncul seketika. Ada akumulasi kekecewaan dan kebuntuan komunikasi antar warga dengan pihak-pihak pemegang kuasa atau modal yang terjadi. Dan ironisnya, akumulasi persoalan ini tak terkelola dengan baik. Kekecewaan warga yang tidak mendapatkan aksesnya itu kemudian menjadi pemicu ‘bom waktu’ benturan fisik.

Negara atau pemerintah seharusnya sudah dapat ‘membaca’ bahwa aspirasi warga yang berkembang adalah kekuatan sosial yang semestinya mendapatkan ruang. Namun, lagi-lagi, dalam menghadapi akumulasi kekecewaan sosial itu, negara seringkali ikut terbawa arus kekerasan daripada melakukan pendekatan politik dan hukum yang terbuka dan mendidik.

Kemudian, hal yang juga dapat menjadi pemicu ledakan emosi warga adalah hilanganya dialog atau komunikasi antar warga dan pemegang kuasa atau modal yang konstruktif. 
Kebuntuan komunikasi ini tentu sangat rentan menjadi ruang pengap yang bisa saja meledak tanpa pernah diperkirakan. Dan ini bisa kita lihat dari beberapa kasus benturan warga yang hanya menyisakan banyak korban dan kerugian.

Betapa menyedihkan tentunya, melihat perilaku kekerasan di negeri ini hingga harus menjadi pilihan warga dan pemegang kuasa dalam menyelesaikan masalah. Apakah tak ada lagi tempat teduh untuk bermusyawarah yang menjadi karakter bangsa ini dalam setiap menyelesaikan masalah?

Negara Tanpa Wibawa
Untuk menekan kekerasan massa, negara sudah seharusnya tegas dan bijak menyikapinya. Melemahnya wibawa intitusi-institusi negara dan penegakan hukum yang impoten, tentu menjadi akses bagi warga untuk meluapkan ketidakpuasannya. Kerusahan di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi baru-baru ini, dengan ribuan warga menyerang Kantor Bupati dan membakarnya adalah satu diantara potret yang mempertontonkan ketidakpercayaan warga terhadap instrumen negara.

Negara harus berwibawa. Inilah yang seharusnya dilakukan pemerintah. Kekuatan massa dapat ditekan, jika pemerintah sendiri memiliki tauladan dan kebijakan yang mengedepankan kepentingan umum.

Banyaknya para pejabat dan kebijakan politik yang korup serta tidak populis tentu menjadi bagian sebab institusi negara kehilangan wibawanya di hadapan masyarakat. Bagaimana bisa negara dapat memutus mata rantai kekerasan warga, jika secara struktural negara mengalami kerapuhan dalam sistem dan kebijakan.

Kekerasan warga yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini dapat pula dikatakan sebagai respon sosial yang tak terkendali dan tak mendapatkan tempatnya secara adil. Ia lahir dan tumbuh dari sistem kekuasaan yang memang memberikan ruang dan ide bagi munculnya kekerasan.

Sebenarnya gagasan dan sistem negara memiliki peran dominan hingga dapat membuka celah benturan fisik warga.  Antonio Gramsci mengatakan, gagasan negara tanpa disadari dapat masuk dalam pikiran bawah sadar manusia melalui instrumen-instrumen yang dimiliki negara.

Kekerasan yang menjalar di negeri ini sesungguhnya persoalanya adalah dari negara sendiri. Hegemoni yang dimiliki negara memiliki potensi untuk menjalarkan ide-ide kekerasan lewat institusi-institusinya. Dan ini bisa saja lewat sektor pendidikan, agama, militer, dan bahkan media massa. Jika instrumen-instrumen tersebut tak dikelola dengan bijak, baik, mendidik, dan demokratis, akan sangat memungkinkan perangkat-perangkat negara rentan menjadi ‘alat produksi’ pemicu kekerasan.

Disinilah, seharusnya, power institusi-institusi negara ditunjukan untuk menyerap dan mengelola aspirasi warga dengan bijaksana. Bukan sebaliknya, negara  menciptakan dan memelihara arena kekerasan ditengah sosial. Kebijakan dan sistem negara harus membuka jalan penyelesaian masalah tanpa benturan fisik. Negara harus kuat dan berwibawa untuk menekan dan mengelola aspirasi masyarakat. Tanpa wibawa, negara akan terus mengalami kekalahannya menghadapi akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan warga. []

*) Tulisan ini pernah dilansir di Koran Harian Tribun Kaltim, Selasa, 14 Februari 2012, Hal. 7

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.