Saturday, July 23, 2016

Agama dan Pertentangan Makna Aksi Terorisme

Oleh Guntur Pribadi *)

Terlalu dangkal bila agama dipandang sebagai pemantik dari kekerasan. Apalagi memosisikan agama sebagai pembenar dari tindakan radikalisme dan terorisme, tentu adalah perspektif yang sempit. Agama yang seharusnya sebagai jalan keluar dari permasalahan tidaklah tepat disebut-sebut sebagai biang dari munculnya ekstremisme.

Namun, jika pada kenyataannya dalam banyak kasus, agama dianggap sebagai pemantik lahirnya kekerasan, maka ini sesungguhnya bukanlah bersumber pada agamanya. Melainkan, lebih tepatnya adalah merupakan tindakan pelaku yang mengatasnamakan agama.

Agama yang keberadannya menjadi sumber utama kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan bagi pemeluknya, adalah tidak relevan kemudian dikorelasikan sebagai lahirnya tindakan radikalisme dan terorisme.

Namun, memang tidaklah mudah pula membantah, bila ada anggapan bahwa pemahaman agama yang keliru dan jauh dari makna tujuan agama yang damai, kemudian dipandang sebagai faktor lahirnya tindakan intoleransi yang merupakan benih dari radikalisme dan ekstremisme.

Agama yang hakikinya mengajarkan kebaikan, kejujuran, kesantunan dalam hubungan manusia antara manusia dan manusia dengan lingkungan, yang terjadi justru dimaknai dalam interpertasi dan realisasi yang menyimpang. Akibatnya, tujuan utama manusia memeluk agama mengalami disorientasi: jauh dari tujuan beragama yang bermakna pada keselamatan, kemaslahatan, dan kedamaian.

Padahal, jika dipahami dari tujuan utama setiap manusia beragama, maka tindakan kekerasan dan kerusakan, sesungguhnya bukanlah ajaran agama. Sebab, setiap agama, bila sungguh-sungguh direnungkan dengan akal sehat dan rasa kemanusiaan, agama tidaklah memerintahkan kepada pemeluknya untuk merusak, membunuh, menebar kebencian, apalagi melakukan tindakan radikalisme.

Nalar agama yang substansinya berisi nilai-nilai kebajikan dan kedamaian tidaklah relevan kemudian maknanya dibajak dalam wujud aksi radikalisme dan ekstremisme yang belakangan ini menjadi ancaman serius hampir di setiap negara-negara dunia. Justru yang terjadi adalah paradoks ketika simbol-simbol agama itu sendiri dipaksakan sebagai dalil pemantik dari aksi terorisme. 

Memaksakan dalil-dalil agama dalam konteks penghalalan darah terhadap seseorang yang berbeda aliran dan ideologi juga tidaklah bisa dibenarkan begitu saja. Sebab, bila diimani nilai-nilai agama dengan nalar kasih sayang, maka tindakan teror, radikalisme, dan ekstremisme terhadap perbedaan, adalah merupakan aksi yang kontradiktif dengan tujuan hakiki agama itu sendiri yakni sebagai motivasi menebarkan kedamaian ke seluruh umat dunia.

Sekalipun hingga hari ini tidak ada penjelasan yang memuaskan akal sehat kita mengenai spirit terorisme yang terjadi, sebagai manusia yang memiliki keimanan dalam beragama tentunya kita menolak bila semangat agama dipandang dan dijadikan sebagai pemantik tindakan-tindakan destruktif. 

Bila ingin disebutkan, maka aksi teror yang menyeret simbol-simbol agama secara serampangan adalah tindakan manusia yang dapat dikatakan tidaklah beragama dan juga tidak manusiawi. Mendasarkan agama sebagai motivasi dan spirit atas aksi terorisme lebih tepatnya adalah sebagai tindakan yang kehilangan akal.

Dalam Islam sendiri misalnya, seperti kita tahu, di antara tujuan hakiki agama itu sendiri dihadirkan kepada umat sebagai pembawa semangat rahmatan lil ‘alamin (kasih sayang Tuhan untuk semua manusia) (Q.S. Al-Anbiya: 107). Konsep “kasih sayang Tuhan untuk seluruh manusia” ini tidaklah terbatas. Akan tetapi, melingkupi seluruh umat di dunia.

Islam juga mengajarkan betapa pentingnya memelihara kehidupan seorang manusia yang dipandang sama halnya memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S. Al-Maidah: 32). Tak itu saja, aksi menimbulkan kebinasaan (mudarat) terhadap diri sendiri merupakan tindakan yang sangat dilarang dalam Islam (Q.S. Al-Baqarah: 195). 

Berangkat dari risalah rahmatan lil ‘alamin dan pentingnya memelihara kehidupan manusia, maka sangatlah bertentangan kemudian tindakan radikalisme dan ekstremisme dilekatkan pada ajaran dan simbol-simbol agama. Sebab sangat jelas, kehadiran agama tidaklah membawa kehancuran pada manusia, melainkan menebarkan kedamaian dan kasih sayang sebagai amanah dari Tuhan.

Merespon aksi terorisme dan radikalisme yang belakangan ini mengalami penetrasinya akibat spirit dan motivasi kepentingan individu atau kelompok tertentu, maka penting kemudian menempatkan pemahaman bahwa tindakan ekstremisme yang muncul adalah sebagai akibat adanya gejala fanatik yang kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.

Dalam upaya membendung menjalarnya pemikiran dan gerakan radikal lebih luas di negeri ini, maka penting kemudian peran agama meresponnya terhadap penyimpangan-penyimpangan aksi teror yang terjadi belakangan ini. Peran tokoh dan institusi agama dalam hal adalah sangatlah strategis, terutama dalam memberikan pencerahan terhadap makna dan tema-tema agama dalam konteks kemanusiaan, kasih sayang, dan kedamaian, melalui jalur pendidikan dan gerakan dakwah. 

Selain itu pula, peran pesantren sebagai agen perubahan dan pemberdayaan sosial juga tak kalah strategis dalam menekan gejala pemikiran dan gerakan intoleransi terhadap keberagaman dan perbedaan di tengah-tengah umat. Keberadaan pesantren sebagai pranata pendidikan yang dikenal memiliki kosentrasi pada pengajaran agama, sangat efektif dalam upaya menumbuhkan kesadaran beragama yang santun, moderat, toleransi, dan damai.

Segala upaya dalam membendung dan menekan penyebaran pemikiran serta gerakan intoleransi tersebut tentunya akan lebih memiliki kekuatan yang lebih luas lagi dengan melibatkan peran elemen masyarakat. Keberadaan elemen masyarakat akan menjadi kekuatan tersendiri, terutama dalam membangun opini positif terhadap keberagaman dan perbedaan. 

Kita tahu, belakangan ini, kekuatan opini masyarakat telah memiliki posisinya dalam menggalang gerakan sosial. Karena itulah, memberdayakan partisipasi elemen sipil dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan dan keutuhan NKRI adalah hal yang hendaknya terus digalang melalui jalur-jalur pendidikan, dakwah, dan advokasi.

Kita tentu percaya, bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk manusia. Dan manusialah yang sesungguhnya memerlukan agama sebagai media dalam mencapai kedamaian dan kebahagiaan kehidupan yang tidak saja di dunia, tapi juga di kehidupan yang diimani kelak. Karena itu, tindakan destruktif dengan alasan agama, tentunya tidaklah dapat diterima, baik itu oleh nalar manusia maupun nalar ajaran agama itu sendiri.

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.