Thursday, February 27, 2014

Ketika Masyarakat Apatis dalam Urusan Politik

Oleh: Guntur Pribadi

MENJELANG pemilihan umum (pemilu) wakil rakyat dan pemimpin nasional yang tak lama lagi digelar pada tahun ini, keberadaan para pemilih golongan putih (golput) diprediksi masih memiliki jumlah yang tinggi. Kendati tidak mudah memang untuk menebak arah pergerakan masyarakat apatis dalam urusan politik tersebut.

Banyak faktor tentunya yang menyebabkan masyarakat ada yang bersikap tidak peduli dalam urusan-urusan politik, seperti enggan menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Beberapa analisa pengamat politik menilai, faktor kekecewaan pemilih terhadap perilaku buruk politisi, seperti korupsi dan pelayanan birokrasi yang buruk serta tidak terserapnya aspirasi, adalah diantara beberapa penyebab masyarakat lebih memilih golput.

Tentu bukan hanya itu saja pastinya yang membuat masih adanya masyarakat yang apatis terhadap masa depan politik di negeri ini. Masih banyak lagi faktor yang membuat masyarakat tak begitu bergairah dalam ikut serta memeriahkan pesta demokrasi. Namun, setidaknya, alasan jenuh terhadap perilaku politisi dan pelayanan birokrasi yang tidak maksimal menjadi bagian potret yang sementara ini diakui atau tidak, melatari masyarakat untuk memilih golput.

Di Kaltim sendiri tentunya kita juga masih ingat dengan data pemilih golput pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, yang jumlahnya dinilai cukup tinggi, tahun lalu. Berdasarkan perhitungan quick count yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia bersama Citra Publik Indonesia, seperti diberitakan media massa, diketahui sebanyak 45,29 pemilih di Kaltim tak menyalurkan aspirasinya pada pilgub.

Tingginya jumlah golput dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur tersebut tentu saja menjadi fenomena tersendiri dalam pergerakan politik masyarakat di Kaltim, saat itu. Apalagi bila diperhatikan, jumlah golput sedikit lebih tinggi dari perolehan suara 42,49 persen yang didapat Awang-Mukmin. Dan apakah ini pertanda menguatnya apatisme politik itu dikarenakan kejenuhan masyarakat untuk melibatkan diri dalam urusan politik?

Tidak mudah memang menjawab apakah masyarakat sedang jenuh dalam urusan politik. Tapi, setidaknya, dengan jumlah golput yang cukup tinggi tersebut, kita dapat ‘meraba’ bahwa saat ini, bisa jadi, masyarakat pemilih sedang menikmati selera politiknya tanpa harus dicekokin menu-menu janji politik yang terkadang jauh dari harapan.

Selain beberapa kemungkinan alasan tersebut, pengaruh lainnya yang mungkin memiliki tingginya suara golput adalah dikarenakan krisis figur pemimpin. Memang tidak mudah untuk memastikan alasan tersebut. Namun, tidak pula menutup kemungkinan, masyarakat pemilih sedang merindukan figur pemimpin yang mampu memberikan optimisme dan harapan besar pada perubahan-perubahan yang konkrit.

Menjelang pemilu legislatif dan pilpres yang hanya mengitung bulan pada tahun ini, tentu saja siapapun pun berharap tingginya jumlah golput dapat ditekan dan masyarakat dapat menggunakan hak suaranya dalam menentukan masa depan perpolitikan dengan memilih wakilnya di parlemen dan pemimpinnya ke depan.

Akan tetapi, lagi-lagi hal tersebut sangat tergantung pada perilaku calon politisi. Kita mungkin sudah tidak dapat lagi memungkiri akan kedewasaan berpolitik masyarakat dalam menyikapi urusan-urusan politik yang berkembang seperti saat ini. Dan gambaran paling nyata dari itu dapat dilihat dengan keberadaan pemilih golput yang keberadaanya tidak luput dari alasan politik.

Disini pula sebenarnya tugas partai politik untuk meyakinkan pemilih akan calon-calon politisinya yang akan duduk di parlemen atau memimpin. Menggugah kesadaran masyarakat untuk ikut aktif dalam menggunakan hak suaranya tidak cukup dengan pendekatan pencitraan dengan berbagai tebar senyum politik pada baliho di berbagai tempat, blusukan-blusukan, hingga sibuk menggelar kegiatan hiburan-hiburan yang cenderung tidak menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat.

Saat ini yang sangat mendesak dibutuhkan masyarakat adalah perubahan dan perbaikan yang mengarah kesejahteraan. Sehebat dan setinggi apapun pencitraan yang ditampilkan, tapi jauh dari memahami realitas dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat, tentu hanya akan menambah kejenuhan-kejenuhan masyarakat.

Karena itu, untuk meyakinkan masyarakat pemilih, maka kerja-kerja sosial dan keteladanan para calon politisi dan pemerintah saat ini perlu diuji terlebih dahulu untuk memberikan pengabdiannya  kepada masyarakat secara konkrit. Tentu saja harapannya, bukan hanya pada saat atau masa kampanye perhatian berlebihan diberikan kepada masyarakat, dan kemudian setelah terpilih sebagai wakil rakyat dan pemimpin, janji-janji saat kampanye tidak lagi terealisasi.

Kita harus percaya, masyarakat pemilih saat ini sudah banyak yang cerdas. Bayang-bayang pemilih golput hanyalah bagian dari selera politik masyarakat yang akan dapat ditekan jumlahnya, jika calon politisi dan pemerintah mampu memahami realitas dan kebutuhan masyarakat pemilih secara nyata. Tanpa pemahaman ke arah itu, sukar kiranya gairah politik masyarakat memilih golput dapat dihindari. 


*) Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Koran Harian Tribun Kaltim, Hal.7, Kamis 27 Februari 2014, atau dapat dilihat di http://kaltim.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=7

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.