MENJELANG
pemilihan umum (pemilu) wakil rakyat dan pemimpin nasional yang tak lama lagi
digelar pada tahun ini, keberadaan para pemilih golongan putih (golput) diprediksi
masih memiliki jumlah yang tinggi. Kendati tidak mudah memang untuk menebak arah
pergerakan masyarakat apatis dalam urusan politik tersebut.
Banyak
faktor tentunya yang menyebabkan masyarakat ada yang bersikap tidak peduli
dalam urusan-urusan politik, seperti enggan menggunakan hak suaranya dalam
pemilu. Beberapa analisa pengamat politik menilai, faktor kekecewaan pemilih
terhadap perilaku buruk politisi, seperti korupsi dan pelayanan birokrasi yang
buruk serta tidak terserapnya aspirasi, adalah diantara beberapa penyebab masyarakat
lebih memilih golput.
Tentu
bukan hanya itu saja pastinya yang membuat masih adanya masyarakat yang apatis
terhadap masa depan politik di negeri ini. Masih banyak lagi faktor yang
membuat masyarakat tak begitu bergairah dalam ikut serta memeriahkan pesta
demokrasi. Namun, setidaknya, alasan jenuh terhadap perilaku politisi dan
pelayanan birokrasi yang tidak maksimal menjadi bagian potret yang sementara
ini diakui atau tidak, melatari masyarakat untuk memilih golput.
Di
Kaltim sendiri tentunya kita juga masih ingat dengan data pemilih golput pada pemilihan
gubernur dan wakil gubernur, yang jumlahnya dinilai cukup tinggi, tahun lalu. Berdasarkan perhitungan quick count yang dilakukan Lingkaran
Survei Indonesia bersama Citra Publik Indonesia,
seperti diberitakan media massa, diketahui sebanyak 45,29 pemilih di
Kaltim tak menyalurkan aspirasinya pada pilgub.
Tingginya jumlah
golput
dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur tersebut tentu saja
menjadi fenomena tersendiri dalam pergerakan politik
masyarakat di Kaltim, saat itu. Apalagi bila diperhatikan, jumlah golput sedikit
lebih tinggi dari perolehan suara 42,49 persen yang didapat Awang-Mukmin.
Dan apakah ini pertanda menguatnya apatisme politik itu dikarenakan kejenuhan
masyarakat untuk melibatkan diri dalam urusan politik?
Tidak
mudah memang menjawab apakah masyarakat sedang jenuh dalam urusan politik.
Tapi, setidaknya, dengan jumlah golput yang cukup tinggi tersebut, kita dapat
‘meraba’ bahwa saat ini, bisa jadi, masyarakat pemilih sedang menikmati selera
politiknya tanpa harus dicekokin menu-menu janji politik yang terkadang jauh
dari harapan.
Selain
beberapa kemungkinan alasan tersebut, pengaruh lainnya yang mungkin memiliki tingginya
suara golput adalah dikarenakan krisis figur pemimpin. Memang tidak mudah untuk
memastikan alasan tersebut. Namun, tidak pula menutup kemungkinan, masyarakat
pemilih sedang merindukan figur pemimpin yang mampu memberikan optimisme dan
harapan besar pada perubahan-perubahan yang konkrit.
Menjelang
pemilu legislatif dan pilpres yang hanya mengitung bulan pada tahun ini, tentu
saja siapapun pun berharap tingginya jumlah golput dapat ditekan dan masyarakat
dapat menggunakan hak suaranya dalam menentukan masa depan perpolitikan dengan
memilih wakilnya di parlemen dan pemimpinnya ke depan.
Akan
tetapi, lagi-lagi hal tersebut sangat tergantung pada perilaku calon politisi. Kita
mungkin sudah tidak dapat lagi memungkiri akan kedewasaan berpolitik masyarakat
dalam menyikapi urusan-urusan politik yang berkembang seperti saat ini. Dan
gambaran paling nyata dari itu dapat dilihat dengan keberadaan pemilih golput
yang keberadaanya tidak luput dari alasan politik.
Disini
pula sebenarnya tugas partai politik untuk meyakinkan pemilih akan calon-calon
politisinya yang akan duduk di parlemen atau memimpin. Menggugah
kesadaran masyarakat untuk ikut aktif dalam menggunakan hak suaranya tidak
cukup dengan pendekatan pencitraan dengan berbagai tebar senyum politik pada
baliho di berbagai tempat, blusukan-blusukan, hingga sibuk menggelar kegiatan
hiburan-hiburan yang cenderung tidak menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat.
Saat ini yang sangat mendesak dibutuhkan masyarakat adalah perubahan dan
perbaikan yang mengarah kesejahteraan. Sehebat dan setinggi apapun pencitraan
yang ditampilkan, tapi jauh dari memahami realitas dan kebutuhan yang dihadapi
masyarakat, tentu hanya akan menambah kejenuhan-kejenuhan masyarakat.
Karena itu, untuk meyakinkan masyarakat pemilih, maka kerja-kerja sosial
dan keteladanan para calon politisi dan pemerintah saat ini perlu diuji
terlebih dahulu untuk memberikan pengabdiannya
kepada masyarakat secara konkrit. Tentu saja harapannya, bukan hanya
pada saat atau masa kampanye perhatian berlebihan diberikan kepada masyarakat,
dan kemudian setelah terpilih sebagai wakil rakyat dan pemimpin, janji-janji
saat kampanye tidak lagi terealisasi.
Kita harus percaya, masyarakat pemilih saat ini sudah banyak yang
cerdas. Bayang-bayang pemilih golput hanyalah bagian dari selera politik
masyarakat yang akan dapat ditekan jumlahnya, jika calon politisi dan
pemerintah mampu memahami realitas dan kebutuhan masyarakat pemilih secara
nyata. Tanpa pemahaman ke arah itu, sukar kiranya gairah politik masyarakat
memilih golput dapat dihindari.
*) Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Koran Harian Tribun Kaltim, Hal.7, Kamis 27 Februari 2014, atau dapat dilihat di http://kaltim.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=7
No comments:
Post a Comment