
Oleh: Guntur Pribadi
BULAN Ramadan bagi umat Islam merupakan momentum berharga untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di bulan ini pula, Allah memposisikan manusia sebagai subyek penentu untuk meraih keberkahan; kemuliaan; dan ampunan-Nya.
Sebagai ibadah yang tidak sekadar bermakna menahan hawa nafsu: makan, minum, dan praktik seksual di siang hari. Puasa Ramadan, lebih dari itu, merupakan media introspeksi diri yang bernilai sosial. Terutama dalam mendidik individu shaim (pelaku puasa) untuk peka terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat fakir-miskin.
Aktivitas puasa semacam ini, mau tidak mau, memang menuntut adanya keseimbangan aspek ibadah teosentris (vertikal) dan antroposentris (horizontal) kegiatan manusia. Sebab, pada prinsipnya, puasa adalah sarana manusia berbenah diri menuju manusia bertakwa (QS. al-Baqarah: 183). Landasan teologis ini, tegas, menyiratkan, kepekaan pelaku puasa terhadap ibadah yang dikerjakannya. Menuju manusia bertakwa tidak sekadar saleh dalam hal ibadah terhadap Tuhan. Tetapi juga, dituntut saleh terhadap sesama.
Wawasan “kepekaan” memang masih sangat minim didapat para pelaku puasa. Seringkali makna yang lebih dominan dari puasa adalah “menahan” makan, minum, dan praktik seksual di siang hari, dari terbit fajar hingga tenggelamnya fajar. Sementara, makna “menahan” keserakahan dan ketidakpedulian, tidak didapat.
Padahal jika kita mau terus menggali potensi hikmah puasa. Selain menahan makan, minum, dan hubungan seksual, puasa mengandung pesan moral-sosial yang luhur. Betapa tidak, sebab pelaksanaan puasa menuntut adanya komunikasi dua arah antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia.
Konsep pemaknaan ini dapat dikaji dari pelaksanaan puasa itu sendiri. Orang yang menjalankan puasa sekadar menahan lapar dan dahaga akan bernilai sia-sia. Sedangkan orang yang berpuasa berlandaskan iman dan kesadaran akan mendapatkan keberkahan (diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).
Tapi, kesadaran iman belumlah cukup untuk menegaskan puasa kita akan bernilai. Sedangkan dalam ranah ibadah sosial kita kering kepedulian. Sebab, keseimbangan dalam dua aspek ibadah tersebut memang dituntut sejatinya sejalan. Kita akrab terhadap Tuhan. Tapi kita juga tidak lupa diri terhadap sesama, yakni menyantuni mereka yang miskin-papa.
Dalam perspektif Islam, kepekaan terhadap sesama merupakan makna kesejatian hidup. Bahkan setiap individu, dalam ajaran Islam (bahkan ajaran agama manapun), dituntut untuk menjadi manusia yang memiliki kepedulian sosial. Fazlur Rahman (1987: 125), ulama asal Pakistan, memaparkan, Quran sendiri, mengajak manusia menerima Tuhan Maha Esa dan kemanusiaan yang tunggal sebagai dua hal yang saling berkaitan. Artinya keyakinan terhadap Tuhan sangat berhubungan dengan aktivitas kepedulian manusia untuk membebaskan saudaranya dari kemiskinan; keterbelakangan dan penindasan.
Islam sebagai agama yang memposisikan manusia pada tataran mulia dan sempurna (Q.S. al-Tiin: 4), sangat tegas mengajarkan, kepekaan terhadap sesama. Quran mensinyalir, kemunafikan para demonstran agama terletak pada sikap ketidakpeduliannya menyantuni kaum yatim dan miskin (Q.S. al-Ma’un: 1-2).
Sindiran tersebut diatas merupakan barometer keyakinan teologis yang mengandung nilai sosial-ekonomi. Dengan kata lain, keberagamaan seseorang tidak saja diukur oleh faktor ibadah vertikal, antara Tuhan dengan manusia, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor kesalehan dalam ibadah horizontal, antara manusia dengan manusia.
Karena itulah, keberhasilan individu pelaku puasa akan lebih bermakna ketika penghayatan puasa tidak dalam sekadar dalam tataran ritual ibadah saja. Tetapi, lebih dari itu, pelaku puasa juga dituntut mampu menjadikan puasa sebagai bengkel kepekaan sosial. Wallau’alam bishshawab.[]
*) Tulisan ini pernah diterbitkan di harian Tribun Kaltim (Rabu 19 September 2007)
Email: gu2n_kutai@yahoo.com
1 comment:
Puasa mendidik kita untuk sabar dan lebih peka terhadap sesama, terutama terhadap saudara kita yang saat ini mengalami bencana alam di Sumatra.
Post a Comment