
WACANA Islam-Demokrasi memang tidak mudah dikaitkan. Persoalannya, ada diktum dan persepsi bahwa akar demokrasi dan Islam berbeda. Demokrasi yang keadaulatannya di tangan rakyat itu produk manusia. Sementara dalam Islam, kedaulantan tertinggi di hukum syara. Demokrasi mengacu pada undang-undang yang bersifat sekuler, sementara Islam punya undang-undang tertinggi yaitu, Quran.
John L. Esposito & John O.Voll dalam bukunya Islam dan Democracy (1996) mencoba menganalisis adanya gap antara Islam ideal −yang juga mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi− dan realitasnya di negara-negara muslim. Dengan mengambil beberapa negara muslim sebagai studi kasus seperti: Iran, Sudan, Pakistan, Malaysia, Aljazair, dan Mesir (Indonesia dan Turki tidak disertakan).
Dalam kajiannya itu diambil tiga nilai Islam yang dianggap berkaitan dengan demokrasi yaitu, Ijma’ (konsensus), Ijtihad (daya pemikiran), dan Syura (musyawarah). Bahkan, sebenarnya masih ada prinsip-prinsip Islam yang sesuai dengan demokrasi yaitu, ‘Adl (keadilan), Musawah (persamaan), dan sebagainya.
Studi lain yang juga menarik adalah pandangan Samuel P Huntington −meski masih dalam tanda tanya. Dalam persepsinya, dalam Islam sendiri tersirat nilai-nilai dasar Islam yang kalau diinterpretasikan dengan baik, akan klop dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Artikel Ace Hasan Syadzily, Demokrasi dan Trust, juga memberikan perspektif bahwa konsolidasi demokrasi tak hanya bisa dibangun dengan sejumlah perangkat prosedur dan mekanisme pengelolaan kekuasaan. Tetapi, banyak faktor yang mempengaruhi sejauh mana sebuah negara dapat mengkonsolidasikan demokrasi tersebut.
Sedangkan menanggapi wawancara DR Rizal Mallarangeng dan Denny J.A. dengan Ulil Abshar Abdalla (Jawa Pos, Minggu 3 Maret 2002), kiranya baik, negara seperti Indonesia menganut sistem demokrasi dengan memfungsikan elemen-elemen teologis yang demokratis, disamping kultur demokrasi.
Dan yang terpenting lagi, demokrasi yang dicita-citakan, ketika dikaitkan dengan Islam, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga pemahaman terhadap Islam itu sendiri tidak tidak terkesan paradoks.
Dan sebagai akhir tanggapan ini, saya berharap kajian ini (Kajian Utan Kayu) dapat lebih membuka wawasan umat tentang proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.[]
*) Tulisan ini pernah diterbitkan di Jawa Pos, 10 Maret 2000 dan merupakan tanggapan terhadap wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan DR Rizal Malarangeng dan Denny J.A tentang wacana Islam dan Demokrasi yang diterbitkan Jawa Pos, Minggu 3 Maret 2000.
No comments:
Post a Comment