Oleh: Guntur Pribadi
PEMBANGUNAN
manusia di Indonesia menempati urutan 111 dari 117 negara yang ditakar oleh
UNDP. Angka tersebut sebenarnya meningkat dari tahun 1994. Tapi, tetap saja
ranking untuk negeri ini di posisi paling akhir di Asia Tenggara.
Persoalan
pendidikan di negeri ini sudah menjadi masalah latah. Hampir setiap tahun para
demonstran peduli pendidikan turun ke jalan. Aksi unjuk rasa itu biasanya
mengambil momentum di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), tanggal 2 Mei.
Demikian
pula dengan tema, yang diangkat pun beragam. Dari persoalan rusaknya
infrastruktur sekolah, peminggiran nasib guru, komersialisasi pendidikan,
hingga rendahnya budaya baca, menjadi tajuk yang kerap dilontarkan dalam
demonstrasi. Dan ironisnya lagi, tema semacam itu seperti mengakar, tak
terkecuali sorotan mengenai masih rendahnya pembangunan manusia di negeri ini.
Hasil
laporan United Nations Development Programme (UNDP), badan PBB untuk
pembangunan, menyebutkan, pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 112
dari 174 negara di dunia yang telah dievaluasi. Angka tersebut sebenarnya
meningkat dari sebelumnya, pada tahun 1994. Pembangunan manusia di Indonesia
menempati urutan 111 dari 117 negara yang ditakar oleh UNDP.
Tapi, tetap
saja ranking untuk negeri ini di posisi paling akhir di Asia Tenggara. UNDP
sebagai badan yang meneliti tingkat kemajuan pendidikan lewat Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), menakar kemampuan baca tulis sebagai salah satu
indikator kemajuan pendidikan suatu negara. Kofi Annan, Sekjen PBB,
menyebutkan, potensi baca tulis adalah alat untuk memberantas kemiskinan,
memperluas kesempatan kerja, peningkatan melek gender, perlindungan lingkungan
hidup, serta membangkitkan partisipasi rakyat dalam proses demokratisasi.
Dalam dunia
pendidikan, baca dan tulis adalah satu komponen yang menyatu dan penentu.
Dengan baca tulis kita dapat membuka jendela dunia. Kita dapat menggapai
perubahan hidup.
Dan tentunya
kemampuan baca tulis sangat tergantung dengan minat membaca masyarakat. Survei
badan PBB untuk pendidikan, United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), tahun1992, memaparkan, minat baca masyarakat Indonesia
menempati urutan 27 dari 32 negara. Sebenarnya tidak hanya persoalan minat baca
saja negeri ini dapat dikatakan masih tertinggal.
Hasil
penelitian Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 1995, juga
menyatakan, minat baca bangsa ini 57 persen masih berkutat gaya membaca
"sekadar baca", belum mencapai pada tingkatan penghayatan dan
pemahaman. Di era kompleks yang serba bergerak seperti saat ini, membaca tidaklah
cukup hanya terfokus pada area tekstual (tersurat), tapi lebih dari itu
tuntutan membaca secara kontekstual (tersirat) pada materi bacaan, juga menjadi
sangatlah penting untuk mendongkrak daya kritis, sekaligus menumbuhkan budaya
baca masyarakat. Memang bukanlah soal mudah mendorong masyarakat minat baca di
negeri ini.
Apalagi,
setiap tahunnya, produksi buku di Indonesia hanya berkisar 10.000 judul. Tentu
sangatlah jauh, jika dibandingkan dengan negara Jepang yang setiap tahunnya
mampu menerbitkan buku hingga 60.000 judul. Atau Inggris yang mencapai 110.155
judul buku.
Mengapa
minat baca harus ditakar dari berapa banyak buku di suatu negara terbit setiap
tahunnya? Persediaan buku dalam jumlah yang banyak sangat erat kaitannya dengan
kebutuhan pembaca. Kita dapat memperhatikan majunya suatu negara karena yang
"syahwat" baca masyarakatnya yang tinggi, seperti Jepang, misalkan.
Jepang dapat menjadi negara "Singa Asia" yang disegani negara adi
daya, seperti Amerika Serikat, karena daya baca bangsanya yang unggul.
Demikian
Mesir, yang hingga kini menjadi pusat pendidikan Islam dengan Universitas
Al-Azhar-nya, karena negara itu mewariskan kitab-kitab bernilai peradaban yang
kerap menjadi bacaan, baik para pelajarnya maupun masyarakatnya. Tapi,
bagaimana dengan bangsa kita, apakah membaca buku telah menjadi bagian
kebutuhan penting bagi bangsa ini? Tanpa harus menjawabnya, kita akan mengakui,
bahwa kita masih jauh dari minat membaca buku. Kita masih belum memiliki sense
membaca yang tinggi.
Hal ini
dapat diukur, berapa banyak dalam sehari buku yang telah kita baca? Atau
sekadar menakar, sudahkah kita membaca buku hari ini? Untuk menjawabnya tentu
tidak dapat dilepaskan dari akses buku yang ada di negeri ini dan kesadaran
baca masyarakatnya. Karena itulah, kata kunci untuk mendongkrak kualitas baca
bangsa ini adalah, menjadikan buku bacaan (apapun) sebagai kebutuhan hidup.
Dengan kata lain, mutu pendidikan akan meningkat dengan mendorong masyarakatnya
untuk terus membaca, dan membaca.
*) Opini ini
pernah dimuat di Harian Tribun Kaltim, 9 Mei 2006
No comments:
Post a Comment