Saturday, November 24, 2007

Sukarnya Menakar Masyarakat Sadar Baca


Oleh: Guntur Pribadi

PEMBANGUNAN manusia di Indonesia menempati urutan 111 dari 117 negara yang ditakar oleh UNDP. Angka tersebut sebenarnya meningkat dari tahun 1994. Tapi, tetap saja ranking untuk negeri ini di posisi paling akhir di Asia Tenggara.

Persoalan pendidikan di negeri ini sudah menjadi masalah latah. Hampir setiap tahun para demonstran peduli pendidikan turun ke jalan. Aksi unjuk rasa itu biasanya mengambil momentum di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), tanggal 2 Mei.

Demikian pula dengan tema, yang diangkat pun beragam. Dari persoalan rusaknya infrastruktur sekolah, peminggiran nasib guru, komersialisasi pendidikan, hingga rendahnya budaya baca, menjadi tajuk yang kerap dilontarkan dalam demonstrasi. Dan ironisnya lagi, tema semacam itu seperti mengakar, tak terkecuali sorotan mengenai masih rendahnya pembangunan manusia di negeri ini.

Hasil laporan United Nations Development Programme (UNDP), badan PBB untuk pembangunan, menyebutkan, pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 112 dari 174 negara di dunia yang telah dievaluasi. Angka tersebut sebenarnya meningkat dari sebelumnya, pada tahun 1994. Pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 111 dari 117 negara yang ditakar oleh UNDP.

Tapi, tetap saja ranking untuk negeri ini di posisi paling akhir di Asia Tenggara. UNDP sebagai badan yang meneliti tingkat kemajuan pendidikan lewat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menakar kemampuan baca tulis sebagai salah satu indikator kemajuan pendidikan suatu negara. Kofi Annan, Sekjen PBB, menyebutkan, potensi baca tulis adalah alat untuk memberantas kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, peningkatan melek gender, perlindungan lingkungan hidup, serta membangkitkan partisipasi rakyat dalam proses demokratisasi.

Dalam dunia pendidikan, baca dan tulis adalah satu komponen yang menyatu dan penentu. Dengan baca tulis kita dapat membuka jendela dunia. Kita dapat menggapai perubahan hidup.

Dan tentunya kemampuan baca tulis sangat tergantung dengan minat membaca masyarakat. Survei badan PBB untuk pendidikan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), tahun1992, memaparkan, minat baca masyarakat Indonesia menempati urutan 27 dari 32 negara. Sebenarnya tidak hanya persoalan minat baca saja negeri ini dapat dikatakan masih tertinggal.

Hasil penelitian Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 1995, juga menyatakan, minat baca bangsa ini 57 persen masih berkutat gaya membaca "sekadar baca", belum mencapai pada tingkatan penghayatan dan pemahaman. Di era kompleks yang serba bergerak seperti saat ini, membaca tidaklah cukup hanya terfokus pada area tekstual (tersurat), tapi lebih dari itu tuntutan membaca secara kontekstual (tersirat) pada materi bacaan, juga menjadi sangatlah penting untuk mendongkrak daya kritis, sekaligus menumbuhkan budaya baca masyarakat. Memang bukanlah soal mudah mendorong masyarakat minat baca di negeri ini.

Apalagi, setiap tahunnya, produksi buku di Indonesia hanya berkisar 10.000 judul. Tentu sangatlah jauh, jika dibandingkan dengan negara Jepang yang setiap tahunnya mampu menerbitkan buku hingga 60.000 judul. Atau Inggris yang mencapai 110.155 judul buku.

Mengapa minat baca harus ditakar dari berapa banyak buku di suatu negara terbit setiap tahunnya? Persediaan buku dalam jumlah yang banyak sangat erat kaitannya dengan kebutuhan pembaca. Kita dapat memperhatikan majunya suatu negara karena yang "syahwat" baca masyarakatnya yang tinggi, seperti Jepang, misalkan. Jepang dapat menjadi negara "Singa Asia" yang disegani negara adi daya, seperti Amerika Serikat, karena daya baca bangsanya yang unggul.

Demikian Mesir, yang hingga kini menjadi pusat pendidikan Islam dengan Universitas Al-Azhar-nya, karena negara itu mewariskan kitab-kitab bernilai peradaban yang kerap menjadi bacaan, baik para pelajarnya maupun masyarakatnya. Tapi, bagaimana dengan bangsa kita, apakah membaca buku telah menjadi bagian kebutuhan penting bagi bangsa ini? Tanpa harus menjawabnya, kita akan mengakui, bahwa kita masih jauh dari minat membaca buku. Kita masih belum memiliki sense membaca yang tinggi.

Hal ini dapat diukur, berapa banyak dalam sehari buku yang telah kita baca? Atau sekadar menakar, sudahkah kita membaca buku hari ini? Untuk menjawabnya tentu tidak dapat dilepaskan dari akses buku yang ada di negeri ini dan kesadaran baca masyarakatnya. Karena itulah, kata kunci untuk mendongkrak kualitas baca bangsa ini adalah, menjadikan buku bacaan (apapun) sebagai kebutuhan hidup. Dengan kata lain, mutu pendidikan akan meningkat dengan mendorong masyarakatnya untuk terus membaca, dan membaca.

*) Opini ini pernah dimuat di Harian Tribun Kaltim, 9 Mei 2006


No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.