Oleh : Guntur Pribadi *) HANYA tinggal hitungan bulan. April 2009, pemilihan anggota legislatif secara serentak akan digelar di negeri ini. Dan pada saat itulah, kejelian masyarakat Indonesia diuji untuk memilah dan memilih wakil rakyatnya. Sebuah pertaruhan sekaligus perjuangan menitipkan aspirasi dan masa depan nasib bangsa, dalam kurun lima tahun kedepan.
Memilih dan memilah wakil rakyat sebagai wadah cita-cita politik sangat dibutuhkan kecerdasan. Setidaknya pemilih (baca: masyarakat) harus melek dengan rekam jejak calon legislatif (caleg) pilihannya. Dan yang terpenting tidak terjebak dengan iklan maupun kampanye politik para kandidat wakil rakyat, termasuk calon pemimpin nasional di negeri ini.
Banyaknya iklan politik maupun janji-janji para calon legislatif dan pemimpin yang tersebar diberbagai media massa dan alat peraga kampanye, bukan berarti tanpa harus dikritisi. Masyarakat yang menggunakan dan memiliki hak pilih hendaknya tidak mudah terkecoh dengan janji maupun iming-iming calon legislatif. Memilihlah dengan dasar kesadaran dan keinginan untuk melakukan perbaikan.
Memilih caleg dalam Pemilu Langsung hendaknya tidak sekadar dimaknai pesta demokrasi. Tetapi, pemilih sebagai warga negara hendaknya dapat menjadikan Pemilu Langsung sebagai wadah curahan politik untuk melakukan perubahan.
Priyatno Harsastro, Dosen Ilmu Politik Universitas Diponogoro (UNDIP) Semarang, seperti dilansir www.antara.co.id, mengatakan, untuk menentukan pilihannya (caleg, pen), pengetahuan tentang hak, kewajiban, dan ruang lingkup politik harus benar-benar melekat dibenak masyarakat. Jadi masyarakat hendaknya tidak hanya sekadar memenuhi kewajibannya dalam memilih, tetapi hendaknya menanggapi pesta demokrasi sebagai momen untuk menentukan kelangsungan hidupnya.
Dalam konteks kesadaran memilih itulah, masyarakat secara langsung terlibat dalam menentukan perubahan dan perbaikan kebijakan publik. Dan tentunya dalam hal ini juga diperlukan ”saluran” dan ”aktor politik” yang benar-benar aspiratif dan akomodatif. Bukan ”saluran” dan ”aktor politik” yang penuh dengan gombal dan janji-janji politik murahan. Termasuk menolak politisi yang terindikasi korup, amoral, tidak memiliki kredibilitas dan intelektualitas.
Politikus Busuk?
Menjaleng Pemilu Legislatif 2009, istilah ”politikus busuk” kembali menjadi perbincangan pengamat dan aktivis disejumlah media massa. Kampanye tidak pilih ”politikus busuk” pun digembar-gemborkan sejumlah aktivis. Agar tidak terjebak dalam memilih caleg, para aktivis gerakan anti politikus busuk menganjurkan masyarakat pemilih untuk ”membaca” jejak rekam wakil rakyat.
Arief Budiman, tokoh yang pernah memproklamirkan Golput pada tahun 1970-an, menerjemahkan ”politikus busuk” adalah politisi yang pernah dan terlibat kasus korupsi, pelanggaran hak azasi manusia, juga pelanggaran moral. Sedangkan almarhum Munir, mantan Ketua Kontras, menegaskan, ”politikus busuk” adalah ”politikus berdarah” yang pernah terlibat dalam kekerasan berdarah.
Sejumlah penafsiran terkait maksud ”politikus busuk” yang disampaikan dan dipaparkan para pengamat, politisi sendiri, akademisi, maupun aktivis, memang sangat beragam. Zainuddin Maliki, dalam bukunya: Politikus Busuk, menyimpulkan diantaranya ”politikus busuk” adalah politikus yang track recordnya diwarnai berbagai ”kasus” dan ”perilaku” yang tidak pantas untuk dipilih menjadi wakil rakyat. Terlebih lagi dipilih menjadi pemimpin rakyat.
Menjelang Pemilu 2009, masyarakat pemilih hendaknya dapat membuka mata, telinga, dan hati, terhadap calon pilihannya. Bukan tidak mungkin, caleg maupun calon pemimpin yang menawarkan diri sebagai wakil rakyat dan pemimpin, terindikasi sebagai ”politikus busuk”. Sudah saatnya masyarakat (pemilih sejati, pen) lebih jeli dan cerdas dalam memilah dan memilih wakil dan pemimpinya. Lebih-lebih tidak terbuai money politics dan mimpi-mimpi iklan partai politik (Parpol) dan caleg.
Tolak Politikus Busuk
”Jangan Pilih Politikus Busuk”. Itulah sebagaian selebaran ataupun kampanye yang seringkali diblowup para aktivis untuk menyatakan: jangan memilih caleg ataupun pemimpin yang ”tidak merakyat”.
Banyaknya Parpol dan caleg yang mengikuti Pemilu 2009, secara tidak langsung akan menghadirkan wajah-wajah ”politisi” yang juga banyak dan beragam dengan program dan janji-janji politiknya. Dan hal ini sangat memungkinkan akan banyak pula bermunculan politikus-politikus yang mengkampanyekan diri paling merakyat, yang ketika rakyatnya ditanya tidak mengenal bahkan tidak tahu calon wakilnya atau pemimpinya nanti.
Ketidaktahuan terhadap caleg atau calon pemimpin oleh pemilih sangat berpotensi terjadinya money politics dan tampilnya politikus busuk di dewan perwakilan rakyat. Idealnya, seorang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat memiliki akar dan basis massa.
”Kecelakaan” dalam memilih wakil rakyat sangat berdampak buntunya saluran aspirasi dan komunikasi masyarakat terhadap caleg salah terpilih. Dan lagi-lagi, ini sebenarnya kembali lagi kepada masyarakat pemilih. Karena itu, calon pemilih hendaknya lebih teliti terhadap caleg dan calon pimpinannya ke depan. Dalam artian, tidak memilih calon wakil rakyat karena ganteng, cantik, berkumis, berjenggot, money politics, ataupun pencitraan iklan caleg yang tidak realistis dan tidak merakyat.
Masyarakat pemilih perlu diberikan pencerahan. Memilih caleg dan calon pemimpin tanpa dasar rasional sangat berpotensi lahirnya wakil rakyat yang tidak merakyat, yang pada akhirnya berdampak pada pembusukan dan pengingkaran janji-janji politik ketika kampanye.
Pada prinsipnya seorang caleg atau pemimpin adalah representatif masyarakat. Bukan ”memaksakan” diri menjadi wakil rakyat dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Money politics ataupun seribu satu cara pembusukan politik hanya akan menciptakan keputusan-keputusan politik yang korup, yang pada akhirnya yang lebih merasakanya adalah masyarakat sendiri.
Keputusan-keputusan politik yang tidak merakyat misalnya: pembusukan komunikasi masyarakat dengan wakil rakyat, peminggiran aspirasi, kebijakan politik yang tidak pro rakyat dan masyarakat miskin, meningkatnya penggangguran, pendidikan mahal, permainan harga bahan bakar, ”penyumbatan” aspirasi politik perempuan, penggusuran pedagang kaki lima tanpa ada solusi, mendukung perusakan lingkungan, dan sejumlah keputusan yang tidak populer dan menyengsarakan masyarakat.
Sudah saatnya pemilih memilih wakil rakyat dan pemimpin yang jelas rekam jejaknya dan rasional. Masyarakat harus kritis dan menolak caleg dan pemimpin korup dan amoral yang terlibat kasus-kasus pidana, HAM, korupsi, money politics, pecandu narkoba, sering mangkir menghadiri sidang rakyat ketika menjadi anggota legislatif, selingkuh, tidak melaporkan kekayaan secara benar, pembuat onar di masyarakat, suka berfoya-foya, dan berfikiran neoliberalisme, yakni pendukung kebijakan-kebijakan politik yang menekankan penjualan aset-aset negara atau rakyat kepada pihak asing atau swasta.
Mari memilah dan memilih caleg dan pemimpin masa depan yang rasional, kritis, cerdas, bermoral, dan memiliki kredibilitas serta intelektualitas yang diyakini secara akal dan hati mampu memimpin sekaligsu menyuarakan asprasi rakyat serta membawa perubahan bangsa ini lebih baik kedepan. Dan katakan sekali lagi: ”Tolak politikus busuk”. []
*) Penulis adalah Komunitas Merah Putih Network dan Citizen Journalist
Opini ini pernah dilansir www.kabarindonesia.com sebagai Berita Utama pada 21 Januari 2009
No comments:
Post a Comment