Belakangan ini masyarakat Indonesia dipertontonkan
perseteruan memanas politikus Anas Urbaningrum versus Nazaruddin. Meski bukan
parodi, namun kesan yang ditangkap terasa seperti dagelan yang boleh dikatakan,
antara lucu dan tidak lucu.
Ups! Mengapa lucu? Karena statemen masing-masing politikus
tersebut membuat sejenak masyarakat tertawa geli. Dan mengapa tidak lucu? Sebab di tengah proses peradilan
berjalan, di luar pengadilan ada ‘peradilan' lain yang juga melakukan
‘tuntut-menuntut' yang dihembuskan lewat media antara Anas versus
Nazaruddin.
Jika Anas menantang penegak hukum dan "penebar fitnah"
untuk membuktikan keterlibatannya dalam kasus Wisma Atlit dan proyek Hambalang,
dengan tantangan hukuman gantung.
Nazaruddin yang kerap berkicau dengan mencatut nama Anas dipersidangan
tak kalah menantang, ia pun, baru-baru ini, menegaskan di hadapan wartawan,
menantang Anas dengan sumpah pocong.
Dua tawaran penyelesaian hukum yang dipertentangkan itu
sebenarnya tidak ada dalam kamus hukum positif di negeri ini. Namun, dalam
kamus politik, penyampaian dengan bahasa yang diplomatis, itu sah-sah saja
diutarakan.
Hukuman gantung, jika kita amati sejarah kolonial Belanda
memang pernah ada dipraktikkan. Namun, jika ditelaah dalam hukum pidana positif
yang berlaku saat ini, hukuman gantung tak ada. Apalagi hukuman "Gantung
di Monas"?
Demikian halnya, sumpah pocong. Istilah sumpah pocong ini
pun sebenarnya tidak dikenal di dalam hukum positif yang berlaku di negeri ini.
Dan sumpah pocong ini biasanya lebih banyak dikenal dan dipraktikkan sebagai
alat bukti pada penyelesaian hukum yang berlaku di masyarakat.
Di Indonesia, kita bisa dapati alat bukti sumpah yang diatur
dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 Het Herzienne Indonesische Reglement
("HIR"). Dan itupun, sumpah diposisikan sebagai alat bukti paling
akhir selain alat-alat bukti lainnya: alat bukti surat/tulisan, saksi,
persangkaan-persangkaan, dan pengakuan (pasal 164 HIR). Jadi istilah
"Sumpah Pocong" tidak dikenal dalam sistem hukum kita.
‘Perang' penyelesaian hukuman yang ditawarkan dua politikus
itu, yaboleh dikatakan, hanyalah basa-basi politik. Masyarakat saat ini tentu
sudah sangat cerdas menilai dan melihat. Jurus-jurus politik yang tak
berkualitas, akan sangat mudah tergerus oleh cara pandang politik masyarakat
saat ini yang berkembang.
Akrobat politik yang diperlihatkan saban hari di media massa
oleh politikus, pun mirip jenakanya Abu Nawas. Selalu ada saja yang terkadang
tidak masuk akal diutarakan untuk mengalihkan isu-isu besar nasional. Ya, satu
diantaranya yang dapat kita lihat adalah pertentangan hukuman: "Gantung di
Monas" versus "Sumpah Pocong".
Dua statemen tersebut, sesungguhnya tidak berkualitas untuk
dikonsumsi di hadapan masyarakat. Apalagi dengan diplomasi, menawarkan hukuman
yang kontradiktif dengan hukum positif yang ada dalam sistem hukum kita.
Dikatakan tidak berkualitas, sebab cara pandang penyelesaian
hukum yang ditawarkan tidak bisa menyerap keinginan masyarakat yang
sesungguhnya. Apakah dengan statemen yang menurut subyektif dua politikus itu
sudah ekstrim, bisa memulihkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktik
korupsi?
Pendidikan politik warga tidak hanya membutuhkan statemen,
tapi juga sangat memerlukan kredibilitas, moralitas, dan integritas seorang
politikus. Kendati semua yang melatarbelakangi statemen: "Gantung di
Monas" versus "Sumpah Pocong", itu belum terbukti tuntas di
pengadilan. Namun stereotipe yang terbentuk dimasyarakat soal kasus Wisma Atlit
dan Hambalang, bukanlah masalah sederhana.
Masyarakat, biasanya, lebih dominan cara pandanganya
terbentuk dari arus media. Kita tentu
sangat berharap, hukum di negeri ini berani memangkas lelucon yang
‘dipentaskan' tak lucu tersebut. Hukum harus bisa memposisikan sebagai
instrumen yang membuktikan kebenaran dengan kekuasaannya, bukan hanya mengadili
siapa yang salah, siapa yang benar.
Perseteruan hukum "Gantung di Monas" atau
tantangan "Sumpah Pocong" yang ditawarkan Anas dan Nazaruddin,
anggaplah sebagai pentas lelucon politik belaka. Biarlah proses hukum bekerja,
membuktikan, dan mengungkapkan kebenaran. Saya kira, penegak hukum lebih tahu,
mana hitam, mana putih. Fiat justitia
ruat coelum. (*)
*) Tulisan ini pernah penulis lansir
di: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=%93Gantung+di+Monas%94+atau+%93Sumpah+Pocong%94&dn=20120314080827
|
No comments:
Post a Comment