PERSETERUAN Anas versus Nazar adalah
ilustrasi dari judul tulisan ini. Dua politikus itu, boleh jadi, dulunya adalah
‘bersahabat’ dan ‘sepaham’. Namun, kemudian, gegap gempita politik dan proyek bisnis
membuat mereka berai.
Tampaknya tak ada ruang kawan buat mereka
berdua. Perang urat syaraf dan leher hingga kini masih menghiasi halaman media
massa antara Anas vis a vis Nazar.
Seperti tak ada lagi kepentingan bersama,
ocehan dua politikus ini sudah melewati batas-batas privasi. Saling serang
statemen mergulir dari media massa ke media massa.
Beberapa waktu lalu saja, Anas menegaskan,
bersedia di gantung di Monas, jika terbukti terlibat dalam kasus Wisma Atlit
dan proyek Hambalang. Dan tak kalah balik menyerang, Nazar pun menantang Anas
untuk sumpah pocong.
Tak ada kawan dan lawan abadi. Inilah
kemudian potret yang kita tangkap dari perseteruan Anas versus Nazar.
Persahabatan sebagai kawan sesama politikus dan satu partai, tinggallah
kenangan. Yang tersisa hanyalah mempertahankan kepentingan masing-masing.
Kawan Sekaligus Lawan
Politik sejatinya adalah strategi, jalan
untuk mewujudkan cita-cita ideologi atau oleh Aristoteles menyebutnya, sebagai
usaha warga negara untuk menciptakan kebaikan bersama. Namun pemikiran itu,
saat ini, hanyalah sebagai teori belaka.
Dalam kamus politik Anas dan Nazar,
teori-teori itu basi dan tak ada. Yang ada hanyalah kawan sekaligus lawan politik.
Anas yang sebelumnya terlihat “dingin” dengan
ocehan Nazar pun ikut balik menyerang dan membela diri. Demikian sebaliknya
Nazar, kian kencang ‘bernyanyi’ dan bahkan menyeret sejumlah nama-nama
koleganya yang disebut-sebutnya ikut menikmati proyek bisnis yang
ditanganinnya.
Kendati ‘siulan’ Nazar dinilai (mungkin) sebagai
cerita mati dan tak benar oleh banyak lawan politiknya, ia tetap tak ingin
berhenti ‘bersiul’. Bahkan Nazar dengan lantang siap di sumpah pocong bila
pengakuannya selama ini tak benar.
Saling serang dua individu: Anas versus
Nazar, memantapkan apa yang pernah dikatakan Thomas Hobbes bahwa manusia itu
adalah serigala bagi manusia lain. Terkadang tampak tak menerkam, namun pada
kemudian ia akan melumpuhkan semua yang diinginkannya. Seperti itulah yang bisa
kita lihat antara Anas dengan Nazar. Yang ada hanyalah kepentingan
masing-masing individu.
Anas dan Nazar, mungkin tak menyadari bila
politik dan bisnisnya harus berakhir berantakan. Persahabatan yang dibangun mereka
harus pecah lantaran dugaan bau anyir korupsi melekat pada berbagai proyek
bisnis mereka.
Bak kapal bocor sana-sini, Anas dan Nazar, mungkin
saja sedang sibuk menutup lubang-lubang dinding kapal yang tampak mulai karam
oleh ‘ombak’ KPK dan sorotan media massa, sehingga mereka pun harus ikut larut saling
menyalahkan.
Itulah bagian dunia politik: taktik yang
semula diotak-atik untuk kepentingan bersama, namun pada akhirnya (seringkali) tak siap untuk
gagal bersama. []
No comments:
Post a Comment