Oleh:
Guntur Pribadi
Sandiwara
penegakan hukum di republik ini selalu saja menyisakan banyak kekecewaan dan
isak tangis. Hampir setiap hari kita diperlihatkan dan diperdengarkan berita ‘akhir
cerita’ penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Seperti
sebilah pisau, penegakan hukum di negeri ini hanya tajam ditegakan untuk
masyarakat bawah dan lemah, namun tumpul mengerat keatas para pejabat dan
penguasa yang bersalah.
Bisa dilihat
dan didengar, selama ini, sejumlah kasus hukum besar yang menimpa banyak para
pejabat di negeri ini kandas, lantaran tak cukup bukti kuat. Tak itu saja,
terkadang prosesnya pun berjalan berbelit-belit hingga melahirkan
keputusan-keputusan hukum yang terkadang tak berpihak pada rasa keadilan
masyarakat.
Seperti
diantaranya adalah kasus korupsi proyek Hambalang yang santer terdengar
belakangan ini. Tidak sedikit pengamat menilai proses penegakan hukum dalam
kasus yang telah menyeret beberapa politisi itu belum benar-benar menyentuh
keadilan. Proses pembuktiannya yang dinilai lamban, menunjukan penegakan hukum
di negeri ini terlihat tertatih ketika dituntut untuk membuktikan siapa yang
paling bertanggungjawab pada proyek pembangunan sarana atelit yang menghabiskan
uang rakyat hingga trilunan rupiah itu?
Selain kasus
proyek Hambalang, ada pula kasus besar Bank Century yang hingga kini juga banyak
dinilai belum ada titik terang siapa-siapa pelaku dalam kasus itu. Sejumlah
pejabat negara yang diduga memiliki peran strategis dalam pencairan dana
talangan untuk bank tersebut pada kasus ini, kabarnya hingga saat ini hanya
terdengar sayup, seperti tak ada titik terang: siapa yang paling bertanggungjawab
pada kasus tersebut?
Potret
buram penegakan hukum seperti tergambar tersebut diatas tentu sangat mengiris
rasa keadilan masyarakat yang seringkali mengalami ketidakadilan hukum. Banyak
dari masyarakat, terutama masyarakat miskin harus berhadapan dan mengalami proses
penegakan hukum yang tak berkeadilan. Hukum terasa tajam dan keras ketika yang
melanggarnya adalah masyarakat kelas bawah dan lemah.
Mencari keadilan
hukum di negeri ini bagi masyarakat miskin terasa seperti mimpi. Terkadang
hukum tak memiliki hati untuk masyarakat lemah. Kita mungkin masih ingat
beberapa kasus hukum yang menimpa beberapa warga miskin. Sebut saja misalnya,
kasus Nenek Rasminah, 55 tahun, yang dituduh majikannya mencuri piring hingga
divonis MA bersalah dengan hukuman penjara 130 hari.
Selain
itu, ada pula seorang Kakek Rawi, 66 tahun, di Sinjai, Sulawesi Selatan. Kakek
ini harus mendekam di penjara selama 85 hari. Oleh pengadilan setempat, Kakek Rawi
dihukum dengan tindak pidana pencurian yakni mencuri segengam merica yang
harganya hanya bernilai ribuan rupiah. Yang memilukan lagi dalam kasus ini,
lamanya penahan disesuaikan dengan lamanya tahanan yakni 85 hari.
Hal yang
juga serupa, belum lama ini, dialami Rosidi, 41 tahun, seorang petani hutan, warga
miskin dan buta huruf. Rosidi harus meringkuk di penjara dan terancam hukuman 10
tahun penjara lantaran hanya mengambil sisa pohon kayu jati yang terbengkalai
di hutan.
Masih
banyak lagi fakta penegakan hukum seperti tergambar diatas. Dan ini sangat
memilukan. Betapa tidak, ditengah upaya pembangunan hukum yang berkemanusiaan, penegakan
hukum yang kaku dan tak bernurani ternyata masih ada saja dipraktikan di
republik ini. Yang menyedihkan lagi, kasus-kasus semacam itu terkadang dipaksakan
untuk disidangkan tanpa melihat nilai kerugian yang dimunculkan dan nilai-nilai
kemanusiaan.
Melihat wajah
buram penegakan hukum tersebut diatas tampak sekali peran hukum menjadi mati,
tak bernurani. Hukum seperti tidak lagi bertujuan untuk mencapai kebahagian
terbesar banyak masyarakat seperti dimaksudkan Jeremy Bentham dalam aliran
utilitarianisme. Atau seperti yang dimaksudkan Satjipto Rahardjo, tugas hukum
yang sebenarnya adalah sebagai pelayan dan pengabdi masyarakat.
Penegakan
hukum yang diterapkan seperti menggunakan sebilah pisau: tajam dibawah dan
tumpul keatas, tentu hanya akan menelurkan keputusan-keputusan hukum yang tak
melihat nilai-nilai substansi keadilan dan kemanusiaan. Jika sudah demikian,
keadilan hukum pun hanya akan didapat dan dimenangkan oleh siapa saja yang
berkuasa dan mampu membayar dengan mahal keputusan hukum.
Mungkin
ada benarnya apa yang pernah dibicarakan Ronggowarsito, seorang pujangga besar
budaya Jawa yang hidup di Kesunanan Surakarta, tentang akan datangnya Zaman
Kaliyuga. Di zaman itu, orang-orang pandai, penguasa, penegak keadilan, dan
pengayom masyarakat ditundukkan dengan uang.
Ilustrasi
zaman seperti yang dibicarakan Ronggowarsito, seperti tersebut diatas, tampaknya
bukanlah sekedar gambaran. Kenyataan bahwa hukum di negeri ini seringkali renta
ketika harus berhadapan dengan kepentingan berbau penguasa dan uang, adalah
realitas yang saat ini seringkali sukar dielakan dari proses penegakan hukum.
Seperti
kita ketahui, beberapa berita kasus penangkapan hakim, jaksa, dan pengayom
masyarakat yang pernah terjadi beberapa waktu lalu karena diduga menerima suap
uang, setidaknya itu menjadi kenyataan yang telah menunjukan kepada kita semua
betapa rapuhnya penegakan hukum di negeri ini ketika harus berhadapan dengan uang
dan pusaran kekuasaan.
Penegakan
hukum yang hanya menjadi bagian ‘mesin’ untuk melindungi dan membela penguasa atau
mereka yang berduit, hanya akan melahirkan keadilan hukum yang tiranik. Dan
pada keadilan hukum yang tiranik itulah kemudian akan melahirkan sistem hidup
dan kekuasaan yang korup serta tidak berkemanusiaan.
Hukum
seharusnya ditegakan sebagai pengayom yang bernurani untuk masyarakat.
Penegakan hukum yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yakni dengan
menjadikan hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum, sudah seharusnya dikedepankan
dan menjadi terobosan dalam mekanisme dan kerja-kerja supremasi hukum.
Cita-cita
menempatkan hukum sebagai panglima dalam kerangka negara hukum hanya akan dapat
terwujud ketika penegak hukum menyadari benar-benar bahwa kekuasaan hukum memiliki
ranahnya tersendiri. Artinya, menjaga kedaulatan hukum dan ‘mensucikan’
keadilan dari intervensi serta kepentingan penguasa haruslah terus
diperjuangkan. Fiat justitia ruat caelum:
hukum harus ditegakan meski langit akan runtuh! []
(Tulisan penulis ini pernah dimuat di Harian Tribun Kaltim pada 27 Juni 2012)
Ilustrasi: http://images.detik.com/content/2012/01/04/10/sandal-BB.JPG
Ilustrasi: http://images.detik.com/content/2012/01/04/10/sandal-BB.JPG
No comments:
Post a Comment