Saturday, June 30, 2012

Ketika Hukum dalam Pusaran Kekuasaan



Oleh: Guntur Pribadi 

Sandiwara penegakan hukum di republik ini selalu saja menyisakan banyak kekecewaan dan isak tangis. Hampir setiap hari kita diperlihatkan dan diperdengarkan berita ‘akhir cerita’ penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan masyarakat.

Seperti sebilah pisau, penegakan hukum di negeri ini hanya tajam ditegakan untuk masyarakat bawah dan lemah, namun tumpul mengerat keatas para pejabat dan penguasa yang bersalah.

Bisa dilihat dan didengar, selama ini, sejumlah kasus hukum besar yang menimpa banyak para pejabat di negeri ini kandas, lantaran tak cukup bukti kuat. Tak itu saja, terkadang prosesnya pun berjalan berbelit-belit hingga melahirkan keputusan-keputusan hukum yang terkadang tak berpihak pada rasa keadilan masyarakat. 
  
Seperti diantaranya adalah kasus korupsi proyek Hambalang yang santer terdengar belakangan ini. Tidak sedikit pengamat menilai proses penegakan hukum dalam kasus yang telah menyeret beberapa politisi itu belum benar-benar menyentuh keadilan. Proses pembuktiannya yang dinilai lamban, menunjukan penegakan hukum di negeri ini terlihat tertatih ketika dituntut untuk membuktikan siapa yang paling bertanggungjawab pada proyek pembangunan sarana atelit yang menghabiskan uang rakyat hingga trilunan rupiah itu?

Selain kasus proyek Hambalang, ada pula kasus besar Bank Century yang hingga kini juga banyak dinilai belum ada titik terang siapa-siapa pelaku dalam kasus itu. Sejumlah pejabat negara yang diduga memiliki peran strategis dalam pencairan dana talangan untuk bank tersebut pada kasus ini, kabarnya hingga saat ini hanya terdengar sayup, seperti tak ada titik terang: siapa yang paling bertanggungjawab pada kasus tersebut?

Potret buram penegakan hukum seperti tergambar tersebut diatas tentu sangat mengiris rasa keadilan masyarakat yang seringkali mengalami ketidakadilan hukum. Banyak dari masyarakat, terutama masyarakat miskin harus berhadapan dan mengalami proses penegakan hukum yang tak berkeadilan. Hukum terasa tajam dan keras ketika yang melanggarnya adalah masyarakat kelas bawah dan lemah.

Mencari keadilan hukum di negeri ini bagi masyarakat miskin terasa seperti mimpi. Terkadang hukum tak memiliki hati untuk masyarakat lemah. Kita mungkin masih ingat beberapa kasus hukum yang menimpa beberapa warga miskin. Sebut saja misalnya, kasus Nenek Rasminah, 55 tahun, yang dituduh majikannya mencuri piring hingga divonis MA bersalah dengan hukuman penjara 130 hari.

Selain itu, ada pula seorang Kakek Rawi, 66 tahun, di Sinjai, Sulawesi Selatan. Kakek ini harus mendekam di penjara selama 85 hari. Oleh pengadilan setempat, Kakek Rawi dihukum dengan tindak pidana pencurian yakni mencuri segengam merica yang harganya hanya bernilai ribuan rupiah. Yang memilukan lagi dalam kasus ini, lamanya penahan disesuaikan dengan lamanya tahanan yakni 85 hari.

Hal yang juga serupa, belum lama ini, dialami Rosidi, 41 tahun, seorang petani hutan, warga miskin dan buta huruf. Rosidi harus meringkuk di penjara dan terancam hukuman 10 tahun penjara lantaran hanya mengambil sisa pohon kayu jati yang terbengkalai di hutan.

Masih banyak lagi fakta penegakan hukum seperti tergambar diatas. Dan ini sangat memilukan. Betapa tidak, ditengah upaya pembangunan hukum yang berkemanusiaan, penegakan hukum yang kaku dan tak bernurani ternyata masih ada saja dipraktikan di republik ini. Yang menyedihkan lagi, kasus-kasus semacam itu terkadang dipaksakan untuk disidangkan tanpa melihat nilai kerugian yang dimunculkan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Melihat wajah buram penegakan hukum tersebut diatas tampak sekali peran hukum menjadi mati, tak bernurani. Hukum seperti tidak lagi bertujuan untuk mencapai kebahagian terbesar banyak masyarakat seperti dimaksudkan Jeremy Bentham dalam aliran utilitarianisme. Atau seperti yang dimaksudkan Satjipto Rahardjo, tugas hukum yang sebenarnya adalah sebagai pelayan dan pengabdi masyarakat.

Penegakan hukum yang diterapkan seperti menggunakan sebilah pisau: tajam dibawah dan tumpul keatas, tentu hanya akan menelurkan keputusan-keputusan hukum yang tak melihat nilai-nilai substansi keadilan dan kemanusiaan. Jika sudah demikian, keadilan hukum pun hanya akan didapat dan dimenangkan oleh siapa saja yang berkuasa dan mampu membayar dengan mahal keputusan hukum.

Mungkin ada benarnya apa yang pernah dibicarakan Ronggowarsito, seorang pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kesunanan Surakarta, tentang akan datangnya Zaman Kaliyuga. Di zaman itu, orang-orang pandai, penguasa, penegak keadilan, dan pengayom masyarakat ditundukkan dengan uang.

Ilustrasi zaman seperti yang dibicarakan Ronggowarsito, seperti tersebut diatas, tampaknya bukanlah sekedar gambaran. Kenyataan bahwa hukum di negeri ini seringkali renta ketika harus berhadapan dengan kepentingan berbau penguasa dan uang, adalah realitas yang saat ini seringkali sukar dielakan dari proses penegakan hukum.

Seperti kita ketahui, beberapa berita kasus penangkapan hakim, jaksa, dan pengayom masyarakat yang pernah terjadi beberapa waktu lalu karena diduga menerima suap uang, setidaknya itu menjadi kenyataan yang telah menunjukan kepada kita semua betapa rapuhnya penegakan hukum di negeri ini ketika harus berhadapan dengan uang dan pusaran kekuasaan.

Penegakan hukum yang hanya menjadi bagian ‘mesin’ untuk melindungi dan membela penguasa atau mereka yang berduit, hanya akan melahirkan keadilan hukum yang tiranik. Dan pada keadilan hukum yang tiranik itulah kemudian akan melahirkan sistem hidup dan kekuasaan yang korup serta tidak berkemanusiaan. 
 
Hukum seharusnya ditegakan sebagai pengayom yang bernurani untuk masyarakat. Penegakan hukum yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yakni dengan menjadikan hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum, sudah seharusnya dikedepankan dan menjadi terobosan dalam mekanisme dan kerja-kerja supremasi hukum.

Cita-cita menempatkan hukum sebagai panglima dalam kerangka negara hukum hanya akan dapat terwujud ketika penegak hukum menyadari benar-benar bahwa kekuasaan hukum memiliki ranahnya tersendiri. Artinya, menjaga kedaulatan hukum dan ‘mensucikan’ keadilan dari intervensi serta kepentingan penguasa haruslah terus diperjuangkan. Fiat justitia ruat caelum: hukum harus ditegakan meski langit akan runtuh! []

(Tulisan penulis ini pernah dimuat di Harian Tribun Kaltim pada 27 Juni 2012)
Ilustrasi: http://images.detik.com/content/2012/01/04/10/sandal-BB.JPG

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.