Wednesday, September 19, 2012

Ini Bukan Kiamat


Oleh: Guntur Pribadi

Sabtu 15 September 2012, seorang teman mengirimkan kabar via Blackberry Messenger. Pesan pendek itu ia sampaikan ketika saya sedang dalam perjalanan menuju ke Hulu Mahakam, Kecamatan Kota Bangun. Dalam pesannya tersebut seorang teman ini memberitahu saya agar membuka epaper.tribunkaltim.co.id. Katanya, “Ada berita bagus hari ini di paper.tribunkaltim.co.id, soal kelanjutan kabar kandasnya Judicial Review terhadap UU No.33 tahun 2004 yang diajukan Kaltim.”

Rasanya kalau dalam perjalanan sambil mengakses berita memang tidaklah nyaman. Apalagi kalau jalannya rusak dan berlubang. Bagi Anda yang biasa melakukan perjalanan menuju jalan yang saya lewati tersebut pasti sudah tahu kondisinya, apalagi jalan yang menuju Kabupaten Kutai Barat. Medan berat pasti Anda akan temukan. Ya, mungkin kalimat “maklum saja” yang bisa kita ucapkan ketika menemui jalan-jalan provinsi yang kurang terawat itu.

Sesampai di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, saya pun mencoba mengakses berita yang diberitahu teman di epaper.tribunkaltim.go.id. Kabar mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak Judicial Review (JR) yang diajukan Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) atasnama Kaltim, pada Rabu (12/9), membuat kecewa penggugat.

MK punya alasan untuk menolak gugatan Kaltim. Diantara alasan itu didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 yang menegaskan, kekayaan sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya  bagi kemakmuran rakyat. Selain itu, alasan lainnya, dengan mengabulkan gugatan tersebut, MK juga menguatirkan dampak buruknya terhadap stabilitas kesatuan ekonomi nasional.

Jika diingat kembali, perjuangan para pemohon  JR Kaltim, beberapa bulan lalu, tentu saja merupakan perjuangan yang melalahkan, yang memakan banyak “energi.” Apalagi setelah keputusan MK menolak gugatan pemohon, tentu saja sangatlah mengecewakan. Keputusan itu boleh jadi juga menegaskan keberadaan Kaltim yang masih dianggap “tak penting.”

Penolakan MK terhadap JR UU No 33/2004 soal presentasi Dana Bagi Hasil (DBH) antara Pusat dan Daerah yang diajukan Kaltim seperti suara petir yang mengejutkan banyak pihak. Optimisme akan dikabulkannya permohonan gugatan pun terpecah pada putusan MK yang dinilai tak berkeadilan. Lagi-lagi, Kaltim, dibayangkan seperti “anak tiri” yang dianggap seolah-olah “tak penting”.

Membaca catatan Bernaulus Saragih, “Kaltim Lebih dari Layak jadi Negara” di epaper.tribunkaltim.co.id, Sabtu (15/9), tersirat ada kecewa yang membakar. Kepala Puslit SDA Unmul, itu menyelipkan protes dalam tulisannya terhadap keputusan MK yang tak melihat kondisi tanah dan rakyat Kaltim secara bijak dan adil. Ia juga mencatat, betapa kayanya Kaltim sehingga jika seandainya menjadi sebuah negara, provinsi ini sebenarnya layak jadi negara.

Siapapun boleh kecewa. Namun, optimisme memperjuangkan Kaltim jangan sampai kering. Meminjam, bahasa Ekonom Unmul Aji Sofyan Effendi, yang dimuat Tribun Kaltim (13/9) dan sekaligus menjadi judul tulisan saya, “Ini bukan kiamat.” Kalimat bernada tak patah arang itu diucapkan Aji Sofyan usai mengikuti pembacaan keputusan MK mengenai DBH, Rabu (12/9).

Lagi-lagi, saya pun jadi sok seperti pengamat yang latah ikut-ikutan mengamati. Apa sebegitunya MK melihat Kaltim tanpa beban dosa? Ah, kalimat pertanyaan saya ini saya ucap seperti tanpa beban juga. Hehehe. Tapi, saya benar-benar serius. Kenapa Kaltim dengan penghasilan perut buminya yang ratusan triliun rupiah, tapi yang kembali ke daerah hanya sekitar, ya, sekitar minus-minus 5 persen lah?

Dalam paparan data yang dipublikasi secara online, dikabarkan, perut bumi Kaltim pernah menyetor ke Pusat hingga mencapai sekitar Rp 359 triliun. Namun, yang menyedihkan, nilai ratusan triliun itu yang kembali ke Daerah dalam bentuk dana bagi hasil dan perimbangan sekitar 17,83 triliun. Dana sebesar tersebut kemudian dibagi untuk 14 kabupaten/kota se-Kaltim.

Bayangkan saja. Ratusan triliun perut bumi Kaltim “memuntahkan” rupiah, bukanlah angka yang sedikit. Seperti tulis, Bernaulus Saragih, jumlah nilai penghasilan alam Kaltim dari PDRB yang nyaris mencapai 350 triliun, jika dibagi rata-rata dengan rumah tangga rakyat Kaltim maka setiap rumah tangga memiliki pendapatan $35 ribu dolar pertahun. Wow, tentu saja ini angka yang banyak.

Kata teman saya dalam sebuah diskusi online, uang sebanyak itu bisa membuat masyarakat pedalaman ataupun perbatasan Kaltim yang rumahnya masih beratap daun dapat hidup lebih sejahtera. “Saya yakin, mereka akan lebih bangga lagi menjadi warga Kaltim sekaligus rakyat NKRI,” ujar teman saya ini dalam chatnya.

Tapi, sayang, bila kita membaca berita keputusan MK yang mengkandaskan JR Kaltim ketika itu seperti mengiris-iris keadilan masyarakat di provinsi ini. Setiap hari isi perut bumi Kaltim dikeruk dan dikuras, hutan-hutan dibabat, hingga setiap hari pula kita tak bisa menutup mata dan telingga terhadap rintihan masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan adalah potret buram provinsi yang tampak kini.

Tak itu saja, tantangan daerah ini juga kian begitu berat kedepannya. Ancaman degradasi lingkungan menghantui Kaltim jika tak benar-benar berbenah. Perut bumi yang melimpah dengan ragam minyak dan gas serta mineral lainnya, akan berdampak buruk dan bisa saja “kiamat” jika dalam pengelolaanya dan pembenahannya tak serius.

Butuh cost besar membenahi alam Kaltim. Jika dihitung-hitung dengan pendapatan Kaltim saat ini, tidaklah sebanding antara hasil dan dampak buruk pada kerusakan lingkungan akibat ijin-ijin blok penambangan besar yang dikeluarkan pemerintah pusat. Sungguh memilukan lagi, keputusan MK terhadap dana bagi hasil, tak bijak memahami beragam persoalan yang dihadapi Kaltim saat ini.

Tapi kita harus tetap yakin, tanpa harus mengimpikan dan berandai-andai Kaltim lebih layak menjadi negara, apalagi hingga harus berdarah-darah atau dengan kekerasan, alangkah bijaknya, perjuangan dengan cara-cara konstitusional membela hak-hak daerah ini lebih layak dilakukan. Negara ini negara hukum. Para pendiri negara ini pun mendirikannya dengan cara-cara konstitusional. Sekali lagi, saya meminjam kalimat Aji Sofyan Effendi, “Ini bukan kiamat.” (*)


*) Tulisan penulis ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Koran Tribun Kaltim pada 19 September 2012, Hal.7

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.