Oleh: Guntur
Pribadi
Sabtu 15
September 2012, seorang teman mengirimkan kabar via Blackberry Messenger. Pesan
pendek itu ia sampaikan ketika saya sedang dalam perjalanan menuju ke Hulu
Mahakam, Kecamatan Kota Bangun. Dalam pesannya tersebut seorang teman ini
memberitahu saya agar membuka epaper.tribunkaltim.co.id.
Katanya, “Ada berita bagus hari ini di paper.tribunkaltim.co.id,
soal kelanjutan kabar kandasnya Judicial
Review terhadap UU No.33
tahun 2004 yang diajukan Kaltim.”
Rasanya
kalau dalam perjalanan sambil mengakses berita memang tidaklah nyaman. Apalagi
kalau jalannya rusak dan berlubang. Bagi Anda yang biasa melakukan perjalanan
menuju jalan yang saya lewati tersebut pasti sudah tahu kondisinya, apalagi
jalan yang menuju Kabupaten Kutai Barat. Medan berat pasti Anda akan temukan. Ya, mungkin kalimat “maklum
saja” yang bisa kita ucapkan ketika menemui jalan-jalan provinsi yang kurang
terawat itu.
Sesampai di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, saya pun
mencoba mengakses berita yang diberitahu teman di epaper.tribunkaltim.go.id.
Kabar mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak Judicial Review (JR) yang diajukan Majelis Rakyat
Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) atasnama Kaltim, pada Rabu (12/9), membuat
kecewa penggugat.
MK punya
alasan untuk menolak gugatan Kaltim. Diantara alasan itu didasarkan pada UUD
1945 pasal 33 yang menegaskan, kekayaan sumber daya alam dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Selain
itu, alasan lainnya, dengan mengabulkan gugatan tersebut, MK juga menguatirkan
dampak buruknya terhadap stabilitas kesatuan ekonomi nasional.
Jika diingat kembali, perjuangan para pemohon JR Kaltim, beberapa
bulan lalu, tentu saja merupakan perjuangan yang melalahkan, yang memakan
banyak “energi.” Apalagi setelah keputusan MK menolak gugatan pemohon, tentu saja
sangatlah mengecewakan. Keputusan itu boleh jadi juga menegaskan keberadaan
Kaltim yang masih dianggap “tak penting.”
Penolakan MK
terhadap JR UU No 33/2004 soal presentasi Dana Bagi Hasil (DBH) antara Pusat
dan Daerah yang diajukan Kaltim seperti suara petir yang mengejutkan banyak
pihak. Optimisme akan dikabulkannya permohonan gugatan pun terpecah pada
putusan MK yang dinilai tak berkeadilan. Lagi-lagi, Kaltim, dibayangkan seperti
“anak tiri” yang dianggap seolah-olah “tak penting”.
Membaca
catatan Bernaulus Saragih, “Kaltim Lebih dari Layak jadi Negara” di epaper.tribunkaltim.co.id,
Sabtu (15/9), tersirat ada kecewa yang membakar. Kepala Puslit SDA Unmul, itu
menyelipkan protes dalam tulisannya terhadap keputusan MK yang tak melihat
kondisi tanah dan rakyat Kaltim secara bijak dan adil. Ia juga mencatat, betapa
kayanya Kaltim sehingga jika seandainya menjadi sebuah negara, provinsi ini
sebenarnya layak jadi negara.
Siapapun
boleh kecewa. Namun, optimisme memperjuangkan Kaltim jangan sampai kering.
Meminjam, bahasa Ekonom Unmul Aji Sofyan Effendi, yang dimuat Tribun Kaltim (13/9) dan sekaligus menjadi judul
tulisan saya, “Ini bukan kiamat.” Kalimat bernada tak patah arang itu diucapkan
Aji Sofyan usai mengikuti pembacaan keputusan MK mengenai DBH, Rabu (12/9).
Lagi-lagi,
saya pun jadi sok seperti pengamat yang latah ikut-ikutan
mengamati. Apa sebegitunya MK melihat Kaltim tanpa beban dosa? Ah, kalimat pertanyaan saya ini
saya ucap seperti tanpa beban juga. Hehehe.
Tapi, saya benar-benar serius. Kenapa Kaltim dengan penghasilan perut buminya
yang ratusan triliun rupiah, tapi yang kembali ke daerah hanya sekitar, ya, sekitar minus-minus 5
persen lah?
Dalam
paparan data yang dipublikasi secara online, dikabarkan, perut bumi Kaltim
pernah menyetor ke Pusat hingga mencapai sekitar Rp 359 triliun. Namun, yang
menyedihkan, nilai ratusan triliun itu yang kembali ke Daerah dalam bentuk dana
bagi hasil dan perimbangan sekitar 17,83 triliun. Dana sebesar tersebut
kemudian dibagi untuk 14 kabupaten/kota se-Kaltim.
Bayangkan
saja. Ratusan triliun perut bumi Kaltim “memuntahkan” rupiah, bukanlah angka
yang sedikit. Seperti tulis, Bernaulus Saragih, jumlah nilai penghasilan alam
Kaltim dari PDRB yang nyaris mencapai 350 triliun, jika dibagi rata-rata dengan
rumah tangga rakyat Kaltim maka setiap rumah tangga memiliki pendapatan $35
ribu dolar pertahun. Wow,
tentu saja ini angka yang banyak.
Kata teman saya dalam sebuah diskusi online, uang sebanyak itu bisa membuat
masyarakat pedalaman ataupun perbatasan Kaltim yang rumahnya masih beratap daun
dapat hidup lebih sejahtera. “Saya yakin, mereka akan lebih bangga lagi
menjadi warga Kaltim sekaligus rakyat NKRI,” ujar teman saya ini dalam chatnya.
Tapi,
sayang, bila kita membaca berita keputusan MK yang mengkandaskan JR Kaltim
ketika itu seperti mengiris-iris keadilan masyarakat di provinsi ini. Setiap
hari isi perut bumi Kaltim dikeruk dan dikuras, hutan-hutan dibabat, hingga
setiap hari pula kita tak bisa menutup mata dan telingga terhadap rintihan
masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan adalah potret buram
provinsi yang tampak kini.
Tak itu
saja, tantangan daerah ini juga kian begitu berat kedepannya. Ancaman degradasi
lingkungan menghantui Kaltim jika tak benar-benar berbenah. Perut bumi yang
melimpah dengan ragam minyak dan gas serta mineral lainnya, akan berdampak
buruk dan bisa saja “kiamat” jika dalam pengelolaanya dan pembenahannya tak
serius.
Butuh cost besar membenahi alam Kaltim. Jika
dihitung-hitung dengan pendapatan Kaltim saat ini, tidaklah sebanding antara
hasil dan dampak buruk pada kerusakan lingkungan akibat ijin-ijin blok
penambangan besar yang dikeluarkan pemerintah pusat. Sungguh memilukan lagi,
keputusan MK terhadap dana bagi hasil, tak bijak memahami beragam persoalan
yang dihadapi Kaltim saat ini.
Tapi kita harus tetap yakin, tanpa harus mengimpikan dan berandai-andai
Kaltim lebih layak menjadi negara, apalagi hingga harus berdarah-darah atau
dengan kekerasan, alangkah bijaknya, perjuangan dengan cara-cara konstitusional
membela hak-hak daerah ini lebih layak dilakukan. Negara ini
negara hukum. Para pendiri negara ini pun mendirikannya dengan cara-cara
konstitusional. Sekali lagi, saya meminjam kalimat Aji Sofyan Effendi, “Ini
bukan kiamat.” (*)
*) Tulisan
penulis ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Koran Tribun Kaltim pada 19
September 2012, Hal.7
No comments:
Post a Comment