MUNGKIN
tak disadari oleh Jokowi, jika kemenangannya dalam Pilgub Jakarta, beberapa
waktu lalu, telah memberikan inspirasi banyak masyarakat untuk mencari figur
pemimpin yang tak lagi peduli dan melihat dari mana asal usul serta mesin
politik pengusung calon pemimpin tersebut.
Indikasi
rakyat tak begitu peduli lagi dengan keberadaan mesin politik ini memang belum
bisa dipastikan secara data. Namun, setidaknya, tanda-tanda masyarakat lebih
cenderung mencari dan memilih figur pemimpin yang merakyat itu, dapat dilihat
dengan keberhasilan Jokowi dan pasangannya menjadi pemenang dalam Pilgub
Jakarta.
Politik
memang sukar dikalkulasi. Suhu kepentingan dan gesekannya pun tak mudah ditebak
akhirnya. Begitu pula, awalnya Jokowi mencalonkan diri sebagai calon gubernur
Jakarta, tak banyak yang optimis. Namun, suara rakyat ternyata tak bisa
dibendung untuk lebih memilih dan mempercayakan Jokowi-Ahok memimpin kota
Jakarta.
Bagaimana
bisa, Jokowi sebagai warga pendatang baru mampu memenangkan Pilgub dengan modal,
seperti banyak diberitakan, minim dan dari urunan rakyat. Tapi, itulah realitas
suara rakyat sebagai suara Tuhan. Bahkan, boleh dikatakan, kemenangan Jokowi
mampu membuktikan kekuatan figur yang dicintai rakyat dan merakyat adalah
pilihan yang sebenar-benarnya keinginan rakyat, bukan keinginan kekuatan
kelompok, golongan, atau perorangan tertentu.
Mungkin
itu, saat ini ada “demam” yang begitu menjalar di opini publik hampir di segala
daerah di negeri ini tentang eksistensi pemimpin yang semestinya harus dipilih
dan dipercaya. Memang bukan hal mudah kemudian untuk mencari figur pemimpin
yang “pas mantap” dihati dan akal sehat pemilih. Selain karena sukarnya
mencirikan figur yang merakyat, disisi lain juga kelangkaan stok figur yang
benar-benar memiliki kualitas memimpin tidaklah mudah dicari.
Kesukaran
mencirikan figur ini bisa saja disebabkan karena oleh tidak begitu banyaknya informasi
yang didapat masyarakat tentang kategori pemimpin yang semestinya bisa dipilih.
Hal itu karena, lebih banyaknya pemilih terjebak pada arus pengiklanan sosok
pemimpin daripada melihat latarbelakang dan prestasi sosok calon pemimpin.
Kemudian,
kelangkaan stok figur juga disebabkan kurangnya sosialisasi figur-figur calon
pemimpin yang sebenarnya di negeri ini banyak, jika ingin dicari. Jumlah penduduk
negeri ini sekitar 250 juta jiwa, tentu tidaklah mungkin kita tak memiliki banyak
stok calon-calon pemimpin. Sama seperti halnya di Kaltim, dari jumlah
masyarakat sekitar 3,5 juta jiwa, kita punya banyak stok calon-calon pemimpin
yang bisa ditampilkan dan diandalkan untuk memimpin serta mengelola kekayaan
daerah.
Tentu
sangat disayangkan jika kita salah menampilkan calon pemimpin, apalagi hingga
salah memilih. Sebuah perubahan itu sangat membutuhkan kekuatan energi positif.
Dan sangat mustahil sebuah perubahan datang dan ada, jika pemimpin yang kita
pilih tak memiliki kapabilitas dan kualitas memimpin, serta loyalitas kepada
masyarakat. Apalagi jika sang pemimpin, memimpin hanya mementingkan keinginan pribadi,
kelompok, dan golongannya. Jika demikian yang terjadi, maka sangat dipastikan
tak ada perubahan yang bisa diharapkan.
Disinilah
pada akhirnya dibutuhkan kesadaran masyarakat pemilih agar menggunakan
hak-haknya dalam setiap pemilihan pemimpin dan wakil rakyat dengan pendekatan
rasionalitas dan kebutuhan realitas. Bukan memilih berdasarkan tekanan, rayuan
politik uang, apalagi kepentingan kelompok yang lebih cenderung mengabaikan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat lebih luas.
*) Tulisan penulis ini pernah pula diterbitkan Koran Harian Tribun Kaltim pada Rabu, 24 Oktober 2012, hlm. 7.
**) Ilustrasi: http://static.inilah.com/data/berita/foto/491471.jpg
No comments:
Post a Comment