Oleh: Guntur Pribadi
GAIRAH pesta demokrasi pemilihan gubernur (Pilgub) Kaltim tampaknya mulai memiliki denyut dan dinamisnya setelah dideklarasikannya pasangan Imdaad Hamid dan Ipong Muchlissoni di Tenggarong, Kabupaten Kukar, baru-baru ini (9/5).
Jika
jauh-jauh hari hanya pasangan Awang Faroek Ishak dan Mukmin Faisyal yang
terang-terangan mendeklarasikan siap bertarung dalam Pilgub Kaltim. Maka,
dengan dideklasikannya pasangan Imdaad-Ipong dan mungkin juga nantinya akan
disusul dengan pasangan-pasangan calon gubernur lainnya, akan menjadikan Pilgub
Kaltim semakin semarak.
Demokrasi
memang tidak ‘mengharamkan’ untuk tampilnya pasangan-pasangan calon gubernur
lainnya. Karena pada prinsipnya, pemilihlah (masyarakat) yang nantinya akan
menjadi penentu akhir: terpilih atau tidak terpilihnya seorang calon gubernur
dan wakilnya.
Melihat
situasi perpolitikan di Kaltim menjelang Pilgub yang saat ini suhunya belum
begitu terasa memanasnya, memang sempat menjadi kekuatiran tersendiri oleh
banyak kalangan terhadap perkembangan aspirasi politik masyarakat provinsi
tersebut. Dan hal itu, kita bisa lihat dan dengar seberapa banyak sih masyarakat yang benar-benar antusias
serta memperbincangkan seputar Pilgub, apalagi mengenai para calonnya?
Mengukur
perhatian masyarakat terhadap pesta demokrasi Pilgub sangatlah penting untuk
terus diamati dan dilakukan? Karena dari sanalah sebenarnya akan terasa
seberapa besar selera politik masyarakat terhadap pesta demokrasi tersebut.
Namun
demikian, mengukur selera politik masyarakat tidaklah sama persis tentunya
seperti apa yang diusung oleh selera kekuatan politik. Dan kenyataan politik
semacam itu bisa dilihat dari realitas Pilgub Jakarta yang dimenangkan pasangan
Jokowi-Basuki. Bayangkan saja, hasil survey yang cenderung memenangkan lawan
ketika itu, akhirnya mentah dengan kemenangan Jokowi-Basuki.
Kenyataaan
masyarakat punya seleranya tersendiri lebih memilih Jokowi-Basuki sebagai
pasangan pemimpin Jakarta saat itu, adalah sesuatu yang tak dapat dengan pasti
diperhitungkan hanya mengandalkan survey, apalagi hanya mengandalkan kekuatan
koalisi mesin politik. Melainkan kekuatan politik masyarakatlah yang
menentukan.
Disamping
itu, tampaknya ada pula realitas kedewasaan berpolitik masyarakat yang juga
tidak mudah untuk dibaca, yakni perubahan cara pandang melihat calon
pemimpinnya. Beberapa pemilukada di beberapa daerah, kecendrungan memilih figur
pemimpin yang merakyat dan memiliki interaksi dengan masyarakat yang intens sepertinya
menjadi tren baru pilihan masyarakat.
Selain
perubahan cara pandang tersebut, proses berpikir pemilih dengan mengedepankan rasionalitasnya
juga menjadi bagian yang tidak dapat dipungkiri ditengah perkembangan politik
masyarakat saat ini. Artinya, masyarakat pemilih saat ini akan lebih kritis
memilih pemimpinnya berdasarkan berbagai persoalan pembangunan yang
dihadapinya.
Dan berbeda
halnya dengan persoalan pembangunan yang dipolitisir hanya untuk kepentingan komoditas
politik ditengah cara pandang pemilih rasional, tentu akan sangat sulit diterima.
Masyarakat rasional ini dengan pemilih yang memiliki daya kritis terhadap persoalan-persoalan
pembangunan akan sangat mampu memilah dan memilih pemimpin yang dibutuhkannya.
Namun,
untuk mengetahui seberapa banyak pemilih rasional itu memang bukanlah hal yang
mudah. Tapi, setidaknya kita akan dapati keberadaan mereka adalah pada pemilih-pemilih
yang memiliki kemampuan akses informasi dan pendidikan yang baik, disamping
pula pada mereka yang disadarkan dari ketidakadilan dan semerawutnya
pelaksanaan pembangunan.
Kaltim
tentu memiliki pemilih-pemilih rasional yang cerdas melihat persoalan daerah.
Dan begitu pula, mereka sebagai pemilih nantinya, tentu sangat mengerti apa
yang dibutuhkan daerah pada saat ini maupun pada kedepannya nanti.
Banyak
persoalan yang mendesak dalam pembangunan yang harus diselesaikan Kaltim.
Selain masalah pendidikan, kesejahteraan, infrastruktur, dan kesehatan terutama
di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan yang masih sulit mendapatkan
aksesnya, masalah degradasi lingkungan pun sangat penting untuk lebih serius
diperhatikan dan dibenahi.
Namun
demikian, berbagai persoalan itu tidaklah cukup hanya dirumuskan dalam
janji-janji dan terdengar ‘manis’ ditengah retorika kampanye politik, sementara
dalam pelaksanaanya kemudian kering dari aspirasi masyarakat. Saat ini, mau
tidak mau, harus disadari, bahwa masyarakat telah banyak mengerti dan
mengetahui apa yang diperlukan dan dibutuhkannya dari hasil pembangunan.
Dan
kita pun harus percaya, setiap individu masyarakat Kaltim juga memiliki selera
politiknya dalam memilah dan memilih pemimpin daerahnya. Siapapun calonnya dan
dari kekuatan politik manapun, kebutuhan setiap masyarakatlah yang sebenarnya
lebih menentukan kemenangan setiap cagub dan cawagub, termasuk perubahan serta
perbaikan di provinsi ini kedepannya.
*) Tulisan ini pernah dimuat di koran harian Tribun Kaltim, Senin 13 Mei 2013. Hal.7
No comments:
Post a Comment