[ Memilah dan Memilih
Calon Pemimpin (2-Selesai) ] *)
Oleh: Guntur Pribadi
UNTUK
menemukan sosok pemimpin yang merakyat: pemimpin yang peka pada kebutuhan dan
apa yang dirasakan masyarakatnya, masyarakat sebagai pemilih dituntut untuk
lebih lebih jeli, cerdas, cermat, dan rasional untuk mencerna “sajian” dan “menu” berbagai program
perubahan dan pembangunan yang ditawarkan para calon pemimpinnya.
Tentu
saja dalam konteks ini, akan sangat tidak “sehat” bila para pemilih hanya memakan
“mentah-mentah” sajian program perubahan dan pembangunan tanpa mengkritisi
serta mencerna dengan akal sehat apa yang “disuguhkan” setiap calon
pemimpinnya.
Untuk
membaca seberapa berkualitas dan layaknya calon pemimpin yang akan memimpin
suatu daerah atau wilayah, maka sangat penting kemudian masyarakat sebagai
pemilih untuk mencari atau mendapatkan akses terkait ‘pengetahuan’ dan
‘informasi’ mengenai masing-masing calon yang akan dipilih.
Merujuk
pada pendapat seorang Imam Al-Mawardi misalnya, dalam kitabnya: al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia merumuskan beberapa
kriteria seorang pemimpin ideal yang dapat dijadikan parameter untuk memimpin,
diantaranya pemimpin itu, menurut Imam Al-Mawardi, harus: adil dan jujur;
berpengetahuan; sehat wal afiat; arif dalam bertindak; tegas dan berani.
Selain
beberapa standarisasi tersebut, beberapa ulama juga ada yang berpendapat
mengenai kriteria pemimpin yang layak untuk memimpin, yakni: mampu
mengedepankan kepentingan umum (tentu saja bukanlah seorang pemimpin yang hanya
sibuk mengurus kepentingan pribadinya, kelompok, dan golongannya) dan memiliki
kualitas moral yang baik.
Mengapa
setiap kita sebagai masyarakat pemilih perlu referensi mengenai kriteria
seorang pemimpin. Hal ini untuk mengindari agar kita sebagai pemilih tidak asal
memilih pemimpin, seperti memilih pemimpin yang belepotan dengan berbagai kasus
KKN, melanggar HAM, melakukan kejahatan lingkungan dan kejahatan seksual,
termasuk pemimpin tidak begitu peduli dengan nasib masyarakat miskin.
Namun,
bagaimana pun juga dari semua itu, daya kritis politik masyarakat pemilihlah
yang kemudian lebih menentukan masa depan pemimpinnya. Karena pada prinsipnya
perubahan itu masyarakatlah yang memilihnya. Misalnya saja, jika sebagai
pemilih mengukur perubahan hanya bernilai sogokan politik uang sebesar Rp 50
ribu, maka senilai itulah murahnya perubahan yang kita terima selama pemimpin
itu memimpin kita.(*)
*) Tulisan ini
pernah dimuat di koran harian Tribun Kaltim, Rabu 22 Mei 2013. Hal.7
No comments:
Post a Comment