SEBAGAI negara agraris yang pernah dikenal memiliki potensi
pertanian yang produktif hingga pada masa kejayaan swasembada beras sekitar
tahun 1980-an, tentu sangatlah sulit dibayangkan jika hari ini sebagian
kebutuhan bahan pangan kita masih diimpor dari negara-negara tetangga.
Saat ini saja, misalnya, negara masih dipusingkan dengan persoalan
harga kedelai yang merangkak naik seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Dampak anjloknya nilai rupiah itu, mengakibatkan banyak petani
kedelai mengeluh karena harga kacang kedelai ikut melambung. Akibatnya, tidak
sedikit para pengrajin tempe dan tahu yang mayoritas adalah usaha kecil menengah,
harus menghentikan sementara usahanya.
Seperti itulah, saat ini, sebagian potret buram pertanian di
negeri ini. Negara yang memiliki banyak lahan pertanian dan tanah yang juga
subur, ternyata harus melakukan impor terhadap beberapa kebutuhan pangan,
termasuk diantaranya kacang kedelai.
Lihat saja, misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang
dikutip detikFinance, belum lama ini (3/9), impor kedelai dalam
tahun ini (Januari - Juli) tercatat sebesar 1,1 juta ton atau senilai US$ 670
juta (Rp 6,7 triliun).
Rinciannya, pada bulan Juli impor kedelai adalah sebesar 227 ribu
ton atau US$ 140 juta. Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan Juni yang
sebesar 175 ribu ton atau US$ 105 juta. Begitu juga dengan Mei yang tercatat
184 ribu ton atau US$ 113 juta.
Besarnya nilai impor kacang kedelai tersebut tentu saja
menggambarkan kondisi sektor pertanian kita yang masih belum mampu berdaya dan
mandiri. Lihat saja, hanya memenuhi pasokan kacang kedelai untuk kebutuhan
negeri sendiri, kita harus impor. Padahal, sebagian besar masyarakat ini banyak
hidup di sektor pertanian.
Siapa saja tentu akan sangat mengerti, bahwa ketahanan pangan yang
mengandalkan bahan pangan seperti Kacang Kedelai yang diimpor dan beberapa
bahan pangan lainnya yang harus diimpor, sangatlah rapuh. Mengapa? Sebab,
bilamana terjadi gejolak stok dan harga kedelai di pasar dunia dengan
nilai dolar naik, maka ekonomi nasional rentan goyah, bahkan bisa saja ambruk.
Mengamati hal itu, terkesan sekali sebenarnya pemerintah belum
begitu serius memberdayakan sektor pertanian yang sebenarnya merupakan basis
utama ketahanan pangan nasional. Bagaimana kita akan bermimpi menjadikan negara
ini mencapai kembali kejayaan pangan, sementara kehidupan dan kebutuhan para
petani di negeri saat ini kurang begitu mendapatkan perhatian serius.
Melihat banyaknya para pengrajin tahu dan tempe yang saat ini
menjerit hingga ada yang harus menutup usahanya sampai menunggu harga kacang
kedelai normal, secara tidak langsung sesungguhnya itu merupakan tamparan keras
kepada pemerintah yang selama ini acapkali dinilai kurang memiliki keseriusan
dalam memberdayakan lahan pertanian. Dan sebaliknya, lebih mengutamakan
kepentingan kota dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
Rasanya malu kita sebagai negara yang telah lama dikenal sebagai
negara agraris, tapi untuk mengatasi soal kacang kedelai saja kita harus impor.
Dimana kekuatan dan ketahanan pangan kita saat ini? Serta apa sebenarnya yang
dilakukan pemerintah selama ini dengan berbagai program pertaniannya yang
selalu bernada hebat itu?
Belajar dari negara Jepang sebagai negara yang dikenal memiliki
sektor industri dan teknologi yang maju, namun dalam urusan pertanian,
negara tersebut tetap memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi. Bayangkan
saja, para petani padi di Jepang oleh pemerintahnya disubsidi hingga 70 %. Hal
itu dilakukan, karena negara Jepang lebih memilih hasil beras para petaninya
daripada beras impor.
Selain itu, tujuan pemerintah Jepang memberikan subsidi yang besar
kepada para petaninya adalah untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan. Bagi
masyarakat Jepang, beras merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Karena
itulah, pemerintahnya benar-benar memberikan perhatian yang tinggi di sektor
pertanian, agar kebutuhan pangan bangsanya terus terpenuhi.
Dan bagaimana dengan negara atau pemerintah kita saat ini, apakah
sudah benar-benar menjadikan sektor pertanian sebagai bagian penting untuk
ketahanan pangan dalam negeri ini seperti yang dilakukan Jepang? Atau kita
sudah merasa puas dengan cara mengimpor bila kebutuhan pangan dalam negeri
tidak mencukupi?
Semestinyalah pemerintah berhenti hanya menjanjikan atau
beretorika soal ketahanan pangan. Apalagi, hanya menebar konsep-konsep dan
program pertanian di dalam berbagai profil pembangunan. Semantara dalam
kenyataannya, banyak tak mampu diwujudkan.
Pemerintah tentu dalam hal ini lebih tahu, jika ketahanan pangan
nasional kita sudah rapuh, maka yang paling sangat merasakan dampaknya adalah
masyarakat yang memiliki penghasilan rendah. Selain itu, dampak lain yang
paling besar adalah goyahnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam negeri.
Sudah seharusnya negara atau pemerintah lebih serius memperhatikan
dan peduli terhadap persoalan pertanian, termasuk segala infrastruktur yang
dibutuhkan di sektor tersebut, seperti jalan, jembatan, perbaikan irigasi,
bantuan pupuk, pemberdayaan sumber daya manusia para petani, persediaan lahan,
hingga perlindungan hak-hak para petani.
Negara harus kuat dan tegas untuk menjadikan kekuatan pertanian
sebagai ketahanan pangan nasional yang harus dijaga. Bukan sebaliknya,
membiarkan lahan-lahan pertanian menciut dan terancam dengan
kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada masa depan pertanian, seperti
memberikan ijin penambangan diatas lahan pertanian atau membiarkan lahan-lahan
pertanian tidak produktif.
Komitmen kearah ini tentu saja akan dapat terwujud, bila negara
atau pemerintah sadar, bahwa kekuatan dan kejayaan di sektor pertanian adalah
kunci kekuatan pangan bangsa ini. Pemerintah yang dalam retorikanya pro pada
kesejahteraan rakyat, tentu tidak akan membiarkan sektor pertanian menjadi
rapuh.
Follow Me: @gugunvoice
No comments:
Post a Comment