Thursday, October 10, 2013

Jika Ketahanan Pangan Rapuh

Oleh: Guntur Pribadi




SEBAGAI negara agraris yang pernah dikenal memiliki potensi pertanian yang produktif hingga pada masa kejayaan swasembada beras sekitar tahun 1980-an, tentu sangatlah sulit dibayangkan jika hari ini sebagian kebutuhan bahan pangan kita masih diimpor dari negara-negara tetangga.

Saat ini saja, misalnya, negara masih dipusingkan dengan persoalan harga kedelai yang merangkak naik seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi beberapa waktu terakhir.

Dampak anjloknya nilai rupiah itu, mengakibatkan banyak petani kedelai mengeluh karena harga kacang kedelai ikut melambung. Akibatnya, tidak sedikit para pengrajin tempe dan tahu yang mayoritas adalah usaha kecil menengah, harus menghentikan sementara usahanya.

Seperti itulah, saat ini, sebagian potret buram pertanian di negeri ini. Negara yang memiliki banyak lahan pertanian dan tanah yang juga subur, ternyata harus melakukan impor terhadap beberapa kebutuhan pangan, termasuk diantaranya kacang kedelai.

Lihat saja, misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, belum lama ini (3/9), impor kedelai dalam tahun ini (Januari - Juli) tercatat sebesar 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun).

Rinciannya, pada bulan Juli impor kedelai adalah sebesar 227 ribu ton atau US$ 140 juta. Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan Juni yang sebesar 175 ribu ton atau US$ 105 juta. Begitu juga dengan Mei yang tercatat 184 ribu ton atau US$ 113 juta.

Besarnya nilai impor kacang kedelai tersebut tentu saja menggambarkan kondisi sektor pertanian kita yang masih belum mampu berdaya dan mandiri. Lihat saja, hanya memenuhi pasokan kacang kedelai untuk kebutuhan negeri sendiri, kita harus impor. Padahal, sebagian besar masyarakat ini banyak hidup di sektor pertanian.

Siapa saja tentu akan sangat mengerti, bahwa ketahanan pangan yang mengandalkan bahan pangan seperti Kacang Kedelai yang diimpor dan beberapa bahan pangan lainnya yang harus diimpor, sangatlah rapuh. Mengapa? Sebab, bilamana terjadi gejolak stok dan harga kedelai di pasar dunia dengan nilai dolar naik, maka ekonomi nasional rentan goyah, bahkan bisa saja ambruk.

Mengamati hal itu, terkesan sekali sebenarnya pemerintah belum begitu serius memberdayakan sektor pertanian yang sebenarnya merupakan basis utama ketahanan pangan nasional. Bagaimana kita akan bermimpi menjadikan negara ini mencapai kembali kejayaan pangan, sementara kehidupan dan kebutuhan para petani di negeri saat ini kurang begitu mendapatkan perhatian serius.

Melihat banyaknya para pengrajin tahu dan tempe yang saat ini menjerit hingga ada yang harus menutup usahanya sampai menunggu harga kacang kedelai normal, secara tidak langsung sesungguhnya itu merupakan tamparan keras kepada pemerintah yang selama ini acapkali dinilai kurang memiliki keseriusan dalam memberdayakan lahan pertanian. Dan sebaliknya, lebih mengutamakan kepentingan kota dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Rasanya malu kita sebagai negara yang telah lama dikenal sebagai negara agraris, tapi untuk mengatasi soal kacang kedelai saja kita harus impor. Dimana kekuatan dan ketahanan pangan kita saat ini? Serta apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah selama ini dengan berbagai program pertaniannya yang selalu bernada hebat itu?

Belajar dari negara Jepang sebagai negara yang dikenal memiliki sektor industri dan teknologi yang maju, namun dalam urusan pertanian, negara tersebut tetap memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi. Bayangkan saja, para petani padi di Jepang oleh pemerintahnya disubsidi hingga 70 %. Hal itu dilakukan, karena negara Jepang lebih memilih hasil beras para petaninya daripada beras impor.

Selain itu, tujuan pemerintah Jepang memberikan subsidi yang besar kepada para petaninya adalah untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan. Bagi masyarakat Jepang, beras merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Karena itulah, pemerintahnya benar-benar memberikan perhatian yang tinggi di sektor pertanian, agar kebutuhan pangan bangsanya terus terpenuhi.

Dan bagaimana dengan negara atau pemerintah kita saat ini, apakah sudah benar-benar menjadikan sektor pertanian sebagai bagian penting untuk ketahanan pangan dalam negeri ini seperti yang dilakukan Jepang? Atau kita sudah merasa puas dengan cara mengimpor bila kebutuhan pangan dalam negeri tidak mencukupi?

Semestinyalah pemerintah berhenti hanya menjanjikan atau beretorika soal ketahanan pangan. Apalagi, hanya menebar konsep-konsep dan program pertanian di dalam berbagai profil pembangunan. Semantara dalam kenyataannya, banyak tak mampu diwujudkan.

Pemerintah tentu dalam hal ini lebih tahu, jika ketahanan pangan nasional kita sudah rapuh, maka yang paling sangat merasakan dampaknya adalah masyarakat yang memiliki penghasilan rendah. Selain itu, dampak lain yang paling besar adalah goyahnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam negeri.

Sudah seharusnya negara atau pemerintah lebih serius memperhatikan dan peduli terhadap persoalan pertanian, termasuk segala infrastruktur yang dibutuhkan di sektor tersebut, seperti jalan, jembatan, perbaikan irigasi, bantuan pupuk, pemberdayaan sumber daya manusia para petani, persediaan lahan, hingga perlindungan hak-hak para petani.

Negara harus kuat dan tegas untuk menjadikan kekuatan pertanian sebagai ketahanan pangan nasional yang harus dijaga. Bukan sebaliknya, membiarkan lahan-lahan pertanian menciut dan terancam dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada masa depan pertanian, seperti memberikan ijin penambangan diatas lahan pertanian atau membiarkan lahan-lahan pertanian tidak produktif.

Komitmen kearah ini tentu saja akan dapat terwujud, bila negara atau pemerintah sadar, bahwa kekuatan dan kejayaan di sektor pertanian adalah kunci kekuatan pangan bangsa ini. Pemerintah yang dalam retorikanya pro pada kesejahteraan rakyat, tentu tidak akan membiarkan sektor pertanian menjadi rapuh.

Follow Me: @gugunvoice

*) Tulisan ini sebelumnya pernah menjadi editorial di sebuah majalah lokal di Kaltim dan juga pernah dishare oleh penulis sendiri di kompasiana.com 

No comments:

KILAS CATATAN

Wartawan Bodrex vs Citizen Journalist

DALAM catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007)....selengkapnya...

Detikcom News

.: KabarIndonesia - Dari Kita Untuk Kita :.